Gianyar (bisnisbali.com) –Pemerintah meninjau ulang rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) terhadap barang kebutuhan pokok. Menurut Anggota Komisi VI DPR RI I Nyoman Parta, penerapan pajak tersebut nantinya hanya akan menambah beban ekonomi masyarakat yang tengah kesulitan saat ini.
‘’Situasi ekonomi sedang sangat sulit dan daya beli juga menurun. Jangan masukkan sembako sebagai objek PPN. Pajak untuk barang mewah seperti mobil dihilangkan. Pemerintah malah mau mengenakan pajak sembako, ini terbalik,” ujarnya di Gianyar, Kamis (10/6) kemarin.
Ia mengkalkulasi, jika PPN jadi diterapkan dengan persentase yang cukup besar akan berdampak pada harga sembako itu sendiri. Hal tersebut bisa memicu instabilitas ekonomi di tingkat bawah. Parta mencontohkan kalau PPN 12 persen, 1 kilogram beras yang awalnya seharga Rp 10 ribu bisa menjadi Rp 11.200. Ini tentu memberatkan apalagi jika bahan pokok itu dibuat untuk produk UMKM.
Menurutnya, pemerintah semestinya berpikir bahwa ketika sembako dikenakan PPN maka akan berefek ke barang konsumsi lainnya. Masyarakat tentu tidak hanya membutuhkan beras. Mereka juga memerlukan minyak, gula, kopi dan lainnya yang bisa dikenakan PPN.
Oleh karena itu, Parta berharap pemerintah mengurungkan rencana tersebut dan tidak memasukkan sembako sebagai objek PPN. Sebab, dampaknya akan sangat luas dan yang menerima adalah rakyat jelata. Sembako adalah kebutuhan paling vital yang bisa berdampak luas jika pemerintah salah melakukan pendekatan. “Sebaiknya urungkan dan hilangkan klausul itu,” tegasnya.
Setidaknya item barang kebutuhan pokok yang bakal atau direncanakan dikenakan PPN, salah satunya beras. Hal tersebut tertuang dalam rumusan RUU Ketentuan Umum Pajak (KUP). Pasal 4A ayat 2 huruf b UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga Atas UU 8/1983 tentang PPN Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. *kup