Tabanan (Bisnis Bali) –
Masa transisi peralihan sistem pembelian pupuk bersubsidi dari sistem cash and carry (manual) ke cashless menggunakan Kartu Tani menimbulkan kendala di kalangan petani pada musim tanam kedua tahun ini. Akibatnya sejumlah petani di Tabanan terpaksa beralih membeli pupuk non subsidi untuk menghindari administrasi pembelian yang dirasa ribet dan agar bisa tetap berproduksi sesuai jadwal tanam.
Kepala Bidang Sarana dan Prasarana Dinas Pertanian Tabanan, I Gusti Putu Wiadnyana, Jumat (21/5) mengungkapkan, masa transisi peralihan ke Kartu Tani menimbulkan sejumlah kendala dilapangan saat ini. Akuinya, kondisi tersebut kemudian membuat jumlah serapan pupuk bersubsidi cenderung sedikit. Sebagai gambaran jika tahun lalu pada Mei biasanya realisasi serapan pupuk bersubsidi sudah tembus di atas 30 persen, terutama untuk pupuk bersubsidi jenis urea dan NPK. Semenatara tahun ini untuk serapan jenis pupuk yang sama belum mencapai 30 persen.
“Hingga kini realisasi serapan pupuk bersubsidi ini agak kecil. Karena memang banyak kendala yang kami hadapi dalam masa transisi untuk realisasi serapan pupuk bersubsidi ini,” tuturnya.
Terangnya, kendala pada masa transisi ini salah satunya adanya sejumlah persyaratan tambahan harus dipenuhi petani yang sudah terdaftar dalam Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) untuk bisa mendapatkan pupuk bersubsidi sesuai kebutuhan. Diantaranya, penyetoran foto copy KTP petani di masing-masing subak, kemudian itu dilakukan verifikasi di tingkat kecamatan dan verifikasi data di tingkat kabupaten. Katanya, bila hasil ferivikasi data yang dikumpulkan sesuai maka itu tidak masalah, namun jika verifikasi menemukan tidak ada kecocokan data maka akan dilakukan pendataan kembali.
“Semua proses ini membuat proses administrasi pembelian pupuk bersubsidi menjadi lebih panjang dari sebelumnya,” ujarnya.
Akibatnya jelas Wiadnyana, ada sejumlah petani khususnya yang ada di daerah Pupuan dan Selemadeg Barat (Selbar) akhirnya memilih tidak mengajukan (mengamprah) untuk pembelian pupuk bersubsidi, dan beralih membeli pupuk non subsidi yang harganya lebih mahal. Itu karena dua daerah tersebut untuk rekomendasi penggunaan khususnya pupuk urea bersubsidi di daerah tersebut hanya 50 kg per hektar, sehingga dengan jumlah yang kecil tersebut beberapa petani di sana lebih memilih membeli pupuk urea non subsidi.
“Mereka (petani) beranggapan administrasi pembelian pupuk bersubsidi sangat ribet dan cukup lama. Disisi lain mereka juga dikejar waktu untuk segera memulai berproduksi pada musim tanam ini,” tandasnya.
Di sisi prediksinya, masa transisi ini meski menimbulkan sejumlah kendala dilapangan, hal tersebut tidak signifikan berdampak pada berkurangnya luasan tanam padi di Kabupaten Tabanan saat ini. Tapi petani berharap dengan masa transisi mereka tetap bisa mengakses pupuk bersubsidi dengan sistem yang tidak ribet.
“Namun mau tidak mau, bisa tidak bisa karena ini merupakan aturan dari pemerintah pusat. Ya aturan ini harus dijalankan, kami di kabupaten dan teman-teman di kecamatan berupaya semaksimal mungkin,” kilahnya.*man