Tabanan (bisnisbali.com) –Makin mahalnya biaya produksi pertanian konvensional pada komoditas tanaman sayur mengakibatkan sejumlah petani terpaksa menyetop produksi. Kondisi tersebut berbanding terbalik dengan keberadaan petani sayur organik yang masih tetap bisa eksis berproduksi hingga kini.
Petani sayur organik lebih hemat biaya produksi sehingga mampu efektif menopang pertumbuhan tanaman agar sayurnya berproduksi optimal. Ini menjadi satu alasan sejumlah petani sayur organik di Kabupaten Tabanan bisa tetap berproduksi dengan serapan dan harga jual produk yang menjanjikan.
I Made Sandi, salah satu petani sayur organik di Banjar Munduk Andong, Desa Bangli, Baturiti, Rabu (28/4) kemarin, mengungkapkan hingga kini dirinya tetap eksis berproduksi dengan baik untuk memenuhi kebutuhan pasar akan sayur kualitas organik. Menerapkan pola pertanian organik secara mandiri pada tanaman sayur seluas setengah hektar, ia merasa tidak pernah terbebani dengan makin mahalnya harga biaya produksi yang umumnya dirasakan oleh petani pertanian konvensional.
Pemupukan hingga antisipasi terkait hama dan penyakit pada tanaman bisa diupayakannya secara mandiri. Ia memanfaatkan kotoran sapi untuk kebutuhan pemupukan serta tanaman seperti isen, kunyit dan daun sirih diaplikasikan dengan cara fermentasi untuk difungsikan sebagai obat antisipasi dan mencegah hama penyakit. “Saat ini saya total punya 10 jenis komoditas sayur-sayuran. Di antaranya sayur pakcoy, sayur hijau dan bayam Brazil yang semuanya menggunakan pola pertanian organik,” tuturnya.
Pria yang akrab disapa Kadek Melon ini bisa berproduksi 5 kilogram per hari dan per komoditas sayur organik. Selama pandemi, hasil tersebut diserap dengan baik oleh pasar. Kondisi tersebut membuatnya masih bisa produksi secara kontinu. Pihaknya juga ditopang oleh faktor biaya produksi pertanian organik yang lebih murah dibandingkan pertanian secara konvensional.
Mengembangkan pertanian organik secara hitung-hitungan membutuhkan biaya maksimal Rp 1.000 per kilogram untuk jenis budi daya sayur pakcoy dan sayur hijau. Di sisi lain harga jual produk di pasaran minimal atau paling rendah Rp 5.000 per kilogram. “Itu pula yang jadi tarik bagi saya di pertanian organik. Petani benar-benar bisa merasakan hasil dari usaha yang dilakukan sebelumnya,” ujarnya.
Bercermin dari manfaat mengembangkan pertanian organik yang dilakoninya sejak enam tahun terakhir, Sandi berharap diikuti oleh petani lainnya karena memang menguntungkan. Sebab, bisa menghasilkan produk yang menyehatkan dan biayanya murah. “Biayanya akan semakin murah jika lahan budi daya sudah secara kontinu didukung dengan organik. Tanaman berikutnya tidak menggunakan pupuk kompos pun bisa hidup dengan baik,” pungkasnya. *man