Harga Telur Meningkat, Peternak Tetap Rugi

Kenaikan harga telur ayam ras Rp 1.000 per kerat atau menjadi Rp 41.000 per kerat di pasaran saat ini tak serta merta berdampak pada naiknya pendapatan yang diterima sejumlah peternak ayam petelur.

473
AYAM – Peternak ayam di Tabanan.

Tabanan (bisnisbali.com) – Kenaikan harga telur ayam ras Rp 1.000 per kerat atau menjadi Rp 41.000 per kerat di pasaran saat ini tak serta merta berdampak pada naiknya pendapatan yang diterima sejumlah peternak ayam petelur. Betapa tidak, penguatan harga produksi di tengah makin mahalnya biaya usaha justru membuat peternak malah tak menikmati untung, bahkan cenderung merugi saat ini.

Salah seorang peternak ayam petelur, Darma Susila, di Desa Buruan, Tabanan, Minggu (25/4) mengungkapkan, kini harga telur ayam di tingkat pedagang dan peternak mengalami lonjakan dari posisi sebelumnya. Lonjakan ini sekaligus memposisikan harga jual membaik ke posisi Rp 1.200 per butir di tingkat peternak dari kondisi sebelumnya atau awal tahun lalu yang sempat anjlok hingga menyentuh Rp 1.100 per butir. Lonjakan harga telur ini dipicu karena produksi telur di tingkat peternak yang memang sudah menurun.

Sayangnya, lonjakan harga produksi itu tidak lantas membuat peternak berada di posisi yang diuntungkan saat ini. “Harga jual telur memang naik, namun itu belum memposisikan peternak menjadi diuntungkan saat ini,” tuturnya.

Saat ini, biaya produksi untuk pakan produksi pabrikan semakin mahal. Di sisi lain, untuk memanfaatkan pakan alternatif dengan mencampur sendiri jenis konsentrat dan jagung juga tidak murah karena biayanya hampir mirip dengan pakan pabrikan sekarang ini yakni 6.300 per kg atau lebih murah Rp 500 per kg dari harga pakan pabrikan. Sebab, sebelumnya harga jagung yang hanya Rp 4.500 per kg, kondisi itu sudah naik terus hingga terakhir menyentuh Rp 5.500 per kg. “Harga jagung yang juga menjadi salah satu bahan pakan pabrikan ini bahkan berpeluang akan naik terus seiring dengan menurunnya jumlah produksi di dalam negeri dan tidak adanya impor saat ini,” tandasnya.

Kata Darma, saat ini dengan mahalnya biaya pakan ini bahkan sudah membuat sejumlah usaha peternak ayam petelur ini banyak yang kolaps. Sebab, ketika sejumlah peternak ini melakukan afkir pada ternak produksinya, namun peternak tersebut tidak mampu untuk meregenerasi atau kembali melakukan isian kandang seperti sebelumnya, karena tidak bisa membeli ayam dewasa atau tidak mampu membeli DOC karena biaya besar tersedot untuk membeli pakan yang cenderung mahal.

Dia memprediksi, bila harga pakan ini naik terus atau tidak dikendalikan pemerintah, sedangkan harga telur di tingkat peternak justru ditekan, maka akan mempercepat kolapsnya usaha peternak ayam petelur. Sebab, pilihan peternak untuk mengangkat harga jual produksi juga tidak mungkin dilakukan di tengah melemahnya tarikan atau permintaan pasar saat ini.

“Momen Galungan dan Kuningan, ditambah juga dengan momen puasa tidak berdampak pada meningkatnya permintaan pasar. Serapan pasar akan telur ayam ini cenderung normal,” ujarnya.

Bercermin dari hal itu, apabila tidak ada upaya penanganan dari pemerintah, khususnya mengendalikan biaya produksi maka berpotensi terjadi seleksi alam atas keberadaan jumlah peternak ayam petelur. Kata dia, peternak yang tidak kuat menanggung biaya produksi akan bangkrut, sedangkan peternak yang masih bisa menyiasati cashflow akan mampu bertahan. “Logikanya ketika jumlah peternak ini menyusut, maka produksi yang ada tidak mungkin bisa memenuhi kebutuhan nasional. Paling ujung-ujungnya nanti akan impor telur,” kilahnya.

Sementara itu, Putri Widarsih, salah seorang pedagang bahan pangan mengungkapkan, harga telur ayam ini memang mengalami lonjakan saat ini. Lonjakan yang terjadi ini meski terjadi pada momen hari raya Galungan dan Kuningan maupun puasa, namun momen tersebut bukan jadi penyebab utama. “Lonjakan harga telur ini bukan karena akibat meningkatnya permintaan, tapi lonjakan karena memang terjadi di tingkat peternak sehingga kami hanya menyesuaikan harga di pasaran,” tadasnya. *man