Denpasar (bisnisbali.com) –Lonjakan harga cabai rutin terjadi setiap tahun, terutama pada musim hujan saat produksi petani menurun. Kondisi ini menuai keluhan dari masyarakat, terlebih di tengah perekonomian yang masih lesu akibat pandemi Covid-19 dan harga kebutuhan turut melonjak.
Menurut Rektor Universitas Dwijendra, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.M.A., untuk menanggulangi hal ini perlu dilakukan pemetaan produksi cabai dan edukasi terhadap konsumsi cabai olahan. Pemetaan produksi dimaksudkan adanya informasi tentang sentra-sentra produksi cabai, luas penanaman, jadwal tanam, jadwal panen, prediksi jumlah produksi, termasuk prediksi konsumsi selama satu tahun yang dirinci setiap bulan.
“Artinya bahwa pemetaan ini ini akan dapat memberikan informasi dan penyiapan langkah-langkah untuk mengendalikan dan mengatur produksi sesuai tingkat konsumsi di masyarakat. Tingkat konsumsi sangat perlu dipetakan atau diprediksi karena setiap bulan ada perbedaan mengingat hari raya bagi umat tertentu yang menyebabkan permintaan cabai meningkat,” ungkapnya, Senin (15/3).
Selain itu, lanjut mantan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Dwijendra ini, penanaman cabai secara praktis dapat dilakukan oleh rumah tangga baik di pedesaan maupun di perkotaan yaitu di pekarangan masing-masing. Penanaman di tingkat rumah tangga dapat memberikan jaminan adanya ketersediaan produksi cabai secara mikro yang akan turut berkontribusi terhadap pengendalian harga cabai yang meroket.
Disinggung soal gagal panen yang dialami petani saat musim hujan, Gede Sedana menyatakan penanaman cabai dapat dilakukan dengan teknologi yang memerlukan tambahan modal usaha tani, seperti penggunaan input dan fasilitas budi daya. Pada musim ini risiko gagal panen sangat tinggi karena adanya potensi serangan hama dan penyakit serta faktor hujan disertai angin yang dapat merusak pertumbuhan tanaman cabai.
Di samping pengaturan produksi, ia juga menjelaskan soal konsumsi cabai olahan untuk mengendalikan lonjakan harga cabai saat terjadi penurunan produksi. Penggunaan cabai tidak segar akan dapat membantu stabilitas harga cabai, karena cabai yang segar dalam jumlah besar dapat diolah menjadi serbuk. Serbuk ini dapat disimpan dan lebih tahan lama untuk digunakan pada beberapa bulan berikutnya. Dengan demikian, harga cabai dapat terkendali dan konsumen tidak menjerit.
Hal senada diungkapkan Kepala Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Bali I Wayan Jarta. Mengonsumsi cabai olahan belum fasih dilakukan masyarakat. Padahal cabai olahan memiliki tingkat kepedasan yang sama dengan cabai segar. Hanya, masyarakat masih fanatik dengan cabai segar. “Jika budaya konsumsi cabai olahan bisa diterapkan, akan membantu mengendalikan lonjakan harga cabai. Karena saat panen melimpah, cabai bisa diolah dan digunakan saat produksi minim,” ujarnya. *wid