Denpasar (bisnisbali.com) –Bank Indonesia (BI) telah mengguyur likuiditas di kisaran Rp 700 triliun untuk memastikan likuiditas di perbankan lebih dari cukup untuk mendorong pemulihan ekonomi. Tahun ini, BI tetap melanjutkan penambahan likuiditas dengan melakukan operasi moneter yang telah mencapai Rp 14,16 triliun per 4 Februari 2021.
Terkait hal itu, Ketua Umum Kadinda Provinsi Bali Bidang Moneter dan Fiskal, I.B. Kade Perdana, di Denpasar, menyatakan dengan banyaknya likuditas perbankan apalagi dengan adanya realisasi stimulus fiskal yang tersedia untuk anggaran penanganan Covid -19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) yang mencapai Rp 677,2 triliun dengan serapan sebesar Rp 431,54 triliun (62,1 persen) hingga posisi 25 November 2020, hal tersebut berkontribusi menambah jumlah uang yang beredar di masyarakat dan mendongkrak likuiditas perbankan semakin aman.
Mantan Dirut Bank Sinar ini mengatakan, dengan jumlah likuidtas perbankan yang berlimpah tersebut semestinya bunga dana pihak ketiga (DPK) terus melaju turun sehingga diikuti oleh bunga pinjaman (kredit). Fungsi intermediasi akan bisa berjalan dan cenderung membaik meningkat jumlahnya. “Namun demikian kenyataannya perbankan tidak mampu menurunkan suku bunga pinjaman sebagaimana yang diharapkan para pelaku usaha utama UMKM yang perlu segera ditolong dalam kondisi pandemi agar kembali bisa bangkit,” ujarnya.
Fungsi intermediasi perbankan bisa berjalan maksimal dengan tingkat risiko yang rendah dengan kualitas kredit yang baik mengungkit ekonomi bisa segera bangkit dan pulih. Sebagaimana sudah menjadi tren dan fenomena negara-negara maju belakangan ini dalam upaya memperbaiki perekonomiannya dengan mengadopsi dan menerapkan rezim suku bunga negatif yang lebih menjanjikan dan berprospek baik ke depan.
Sebab, dengan quantitative easing policy yang telah di-launching oleh BI yang menciptakan likuiditas perbankan yang overdosis, menjadi mubazir karena perbankan nasional tidak mampu menyalurkannya dalam bentuk pinjaman (kredit). Ini membuat intermediasi perbankan menjadi stagnan pertumbuhannya serta tidak mampu memberikan kontribusi yang signifikan bagi kebangkitan ekonomi sebagaimana yang diharapkan para pihak yang berkepentingan. Padahal perbankan nasional sudah mulai menikmati banyak keringanan dari sisi biaya dana atau cost of fund dan beban administrasi kredit. “Ternyata pertumbuhan kredit belum seperti yang diharapkan bahkan pada Oktober 2020 terkontraksi 0,47 persen (yoy),” imbuhnya.
Dengan mengadopsi dan menerapkan suku bunga negative berharap masyarakat semakin menjadi produktif dan banyak yang terjun ke dunia usaha. Diyakini perekonomian akan kembali bergerak bangkit menjadi lebih sehat dan produktif dari sebelumnya bila mengadopsi dan menerapkan rezim suku bunga negatif. *dik