Denpasar (bisnisbali.com) –Kredit perbankan diperkirakan tumbuh 2 persen di tahun 2021. Likuiditas neto di pasar uang antarbank semester kedua 2020 (2H2020) rata-rata berada di kisaran Rp 230 triliun per hari. “Naik hampir dua kali lipat dibanding rerata tahun 2019,” kata Chief Economist CIMB Niaga, Dr. Adrian Panggabean.
Ia mengatakan, kepemilikan bank pada obligasi pemerintah yang naik sekitar Rp 630 triliun sejak akhir Januari hingga akhir Desember 2020 adalah konfirmasi dari sangat banyaknya likuiditas di sektor perbankan. Kedua indikator tersebut sebetulnya menggambarkan kemampuan sektor perbankan dalam menyalurkan kredit.
Namun, akibat lemahnya permintaan kredit akibat kontraksi ekonomi, upaya bank dalam menjaga kualitas asetnya di tengah sangat besarnya skala restrukturisasi pinjaman serta dinamika ekonomi yang berkali-kali tertahan oleh kebijakan PSBB, menyebabkan pertumbuhan kredit perbankan akan tetap rendah di 2021. “Angka NPL gross Saya perkirakan masih akan berada di kisaran 3,3 persen, sedangkan tingkat kecukupan modal perbankan (capital adequacy ratio) Saya perkirakan masih berada di kisaran angka 24 persen,” ujarnya.
Tidak hanya itu, ia pun melihat potensi risiko sosioekonomi di tahun 2021 di mana indikator sosioekonomi, yang adalah lagging indicators, berpotensi mengalami pemburukan lebih lanjut sejalan dengan masih rendahnya kemampuan ekonomi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Setiap tahunnya, sebagai implikasi dari bentuk piramida penduduk Indonesia ada sekitar 2,7 juta orang yang masuk ke angkatan kerja.
Menurut estimasi statistik yang kerap dipakai oleh badan pemerintah, ada sekitar 300.000 lebih lapangan kerja yang bisa diciptakan untuk setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi. Artinya, bila pertumbuhan ekonomi kumulatif selama 2020-2021 hanya sebesar 2 persen, maka dalam dua tahun ini potensi terciptanya pengangguran baik pengangguran terbuka dan setengah terbuka adalah sekitar 4,5 juta orang.
Dari berbagai survei kecil yang dilakukan oleh institusi-institusi nonpemerintah, terdapat indikasi kuat bahwa telah terjadi penurunan dalam rerata pendapatan rumah tangga. “Artinya, tingkat kemiskinan memang berpotensi naik. Muara dari kesemua dinamika ini adalah pada potensi kenaikan tekanan sosial yang membutuhkan solusi kebijakan sosial secara urgent dan komprehensif,” terangnya.
Hal itu karena dampak ronde kedua dan ketiga dari fenomena sosioekonomi seperti ini adalah pada potensi penurunan lebih lanjut dalam daya beli, turunnya tingkat keseimbangan ekonomi (lower equilibrium level), dan semakin rendahnya potential growth rate Indonesia.*dik