Denpasar (bisnisbali.com) – Tingginya harga babi saat ini yang mencapai Rp 45.000 per kilogram untuk berat hidup dan hingga Rp 90.000 per kilogram untuk daging potong, dikarenakan populasi yang sangat minim. Upaya meningkatkan dengan segera populasi babi untuk menekan harga pun cukup sulit dilakukan, mengingat butuh waktu yang cukup panjang. Hal tersebut diungkapkan pengamat pertanian Prof. Dr. Ir. Nyoman Suparta, M.S. M.M., saat diwawancarai, Rabu (20/1).
Dia mengatakan, kasus menurunnya populasi babi tidak hanya terjadi di Bali, namun seluruh Indonesia khususnya untuk pulau Sumatera, Jawa dan Bali. Hal ini disebabkan adanya wabah African Swine Fever (ASF) yang sempat menyerang ternak babi pada 2019-2020, sehingga berpengaruh terhadap kelangkaan populasi saat ini. “Stok di daerah itu (Sumatera, Jawa dan Bali) pasti berkurang, sementara konsumen sangat besar di daerah ini. Terlebih di Bali yang mayoritas masyarakatnya mengkonsumsi Bali,” ungkapnya.
Untuk meningkatkan populasi dengan segara, kata Prof. Suparta, sulit dilakukan, karena membutuhkan waktu yang cukup lama. Waktu yang dibutuhkan kurang lebih 1 tahun ditambah 6 bulan untuk bisa menghasilkan babi siap potong. “Dari lahir untuk jadi induk itu membutuhkan waktu sekitar 1 tahun, kemudian pembesaran dan penggemukan babi butuh waktu 6 bulan lagi, sehingga kurang lebih 1 tahun 6 bulan baru ada babi siap potong,” ujarnya, sembari mengatakan saat ini beberapa bibit yang lahir sudah mulai ada.
Lebih lanjut dikatakannya, dengan jumlah konsumen yang begitu besar serta produksi yang lambat, akan sulit dengan segera mengembangkan populasi babi. “Ini tidak seperti industri yang tinggal bahan baku bisa selesai urusannya,” terang Prof. Suparta.
Jadi, mau tidak mau masyarakat memang harus dihadapi dengan tingginya harga daging babi. Diprediksi, hari raya Galungan dan Kuningan yang kurang lebih berlangsung pada tiga bulan mendatang, harga daging babi masih tinggi, meski ketersediaan sudah mulai ada saat itu.
Satu-satunya upaya yang bisa dilakukan yaitu membatasi konsumsi. Namun menurutnya, dengan situasi perekonomian yang masih sangat lemah saat ini, untuk membeli daging masih dirasakan cukup sulit. Sehingga secara otomatis masyarakat sudah terbatasi untuk mengkonsumsi daging babi. *wid