Denpasar (bisnisbali.com) – Pilkada 2020 yang digelar serentak pada 9 Desember 2020 di tengah pandemi Covid-19, dinilai mampu mendongkrak perekonomian di akhir tahun 2020. Hal ini lantaran uang yang beredar selama pilkada di Indonesia bisa mencapai puluhan triliun.
“Setidaknya uang atau dana yang beredar di pemilukada 2020 bisa mencapai Rp 35 triliun yang bersumber dari dana anggaran penyelenggaraan dan juga dana kampanye yang dilakukan oleh berbagai pasangan calon,” kata pemerhati ekonomi dari UNHI, Putu Krisna Adwitya Sanjaya, S.E., M.Si. di Denpasar, Rabu (9/12).
Ia mengestimasi, peredaran uang untuk pilkada di level penyelenggaraan saja bisa mencapai Rp 24 triliun hingga Rp 25 triliun. Kemudian, dana yang dikeluarkan oleh para pasangan calon yang bertarung di pilkada serentak pada 9 Desember 2020, baik itu tingkat provinsi maupun kabupaten/kota bisa mencapai kisaran 10 triliunan. “Kemungkinan kisaran Rp 34 triliun hingga Rp 35 triliun dana beredar dan tentunya hal ini akan sedikit banyak akan meningkatkan konsumsi,” ujarnya.
Dia menyebutkan, pembiayaan pengadaan alat peraga bagi para pasangan calon dan juga bisa untuk pembelian sarana protokol kesehatan seperti masker, hand sanitizer, alat pelindung diri maupun alat kesehatan lainnya, sedikit banyak bisa membantu perputaran ekonomi. “Dalam pilkada yang ada di Bali, kami tentu berharap siapa pun pasangan yang terpilih untuk segera menjalankan dan merealisasikan program-program yang dikampanyekannya,” paparnya.
Terlebih saat ini sudah hampir 9 bulan secara ekonomi Bali terpuruk akibat hantaman pandemi Covid-19. Jika dihitung secara kuantitatif, Bali sudah kehilangan devisa sekitar Rp 77,6 triliiun atau kisaran Rp 9,7 triliiun per bulannya. “Agar sedikit bisa meningkatkan kembali pertumbuhan ekonomi Bali, menurut hemat kami, sangat mendesak untuk menggenjot sektor sektor alternatif lain yang produktif dan potential lainnya untuk lebih serius dan masif,” imbuhnya.
Simultan pun perlu digarap seperti misalnya sektor pertanian, industri kerajinan dan termasuk juga usaha mikro, kecil dan menengah. “Ingat ya, keberadaan sektor UMKM selama ini dapat dikatakan termarjinalkan, padahal sektor UMKM sangatlah vital peranannya dalam menyokong aktivitas perekonomian,” ucapnya.
Hal ini ditandai dengan eksisnya sektor UMKM ketika Indonesia diempaskan oleh badai krisis ekonomi pada tahun 1997-1998. Sektor UMKM sebagai instrumen perekonomian dapat memberi multiplier effect pada pemerataan pendapatan yang berujung kepada penanggulangan kemiskinan yang mana hingga saat ini masih dihadapkan pada beberapa permasalahan seperti minimnya akses permodalan, kurang terampilnya kualitas sumber daya, kesulitan bahan baku hingga sulitnya memasarkan produk.
“Kami berharap pemimpin nantinya mampu untuk mengkolaborasikan ketiga sektor ini untuk mampu menjadi daya ungkit perekonomian karena kami melihat sektor-sektor tersebut sangat potensial diberdayakan dengan lebih masif dan terukur misalnya saja dengan adanya keberanian, komitmen maupun political wiil untuk menambah besaran bantuan berupa stimulus, subsidi, melakukan diversifikasi hingga pemanfaatan digitalisasi,” jelasnya.
Ditambahkannya, dalam jangka menengah dan panjang, sebenarnya prospek ekonomi Bali sangat cerah. Namun hal itu bisa diraih bila terjadi sinergitas sektoral yang konsisten dan serius dilakukan. Dengan sinergi tersebut, pihaknya meyakini perkiraan pertumbuhan perekonomian Bali akan lebih cepat untuk bergeliat kembali. *dik