Gianyar (bisnisbali.com) –Pandemi Covid-19 membuat nasabah perbankan mengalami penurunan pendapatan sehingga memanfaatkan tabungan untuk bertahan. Guna mengantisipasi terjadinya anggapan bank gagal bayar, Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mesti memperkuat likuiditas. Bendahara DPK Perbarindo Gianyar Made Suweca menyampaikan hal ini, Selasa (3/11) kemarin.
Diungkapkannya, dalam pandemi Covid-19 ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mewajibkan BPR menjaga likuiditas 10 persen. Hanya, BPR tidak berani memposisikan rasio kas (cash ratio) 10 persen melainkan minimal 15 persen. Sebab, dalam masa pandemi ini sewaktu-waktu nasabah bank bisa saja melakukan penarikan tabungan atau deposito. Ini mengingat banyak masyarakat bertahan dengan mengandalkan sisa tabungan.
Menurut Direktur Utama BPR Eka Ayu Artha Buana ini, hal itulah yang menjadi pertimbangan BPR memposisikan cash ratio 15 persen. Jika BPR tidak mampu memenuhi kebutuhan nasabah yang melakukan penarikan tabungan akan bisa memunculkan trust.
Lebih lanjut dikatakannya, ketika BPR tidak mampu memenuhi keinganan nasabah dalam penarikan tabungan dampaknya akan sangat berbahaya. “Bank termasuk BPR bisa dianggap gagal bayar karena tidak mampu memberikan layanan tarik setor secara optimal,” jelasnya.
Made Suweca menambahkan, selama ini BPR selalu mejaga kepercayaan masyarakat dan UMKM selaku nasabah. Untuk itu, BPR mempertahankan likuiditas 15 persen. Sesuai arahan OJK, semua BPR diwajibkan menjaga likuiditas. Dalam pandemi Covid-19, BPR diwajibkan memiliki cash ratio di atas 10 persen.
Dijelaskannya, BPR di DPK Perbarindo Gianyar rata-rata masih mampu menjaga rasio kas di atas 10 persen. “Jika ada BPR dalam kondisi kesulitan likuiditas, seluruh BPR di Gianyar berkomitmen membantu BPR yang cash ratio-nya di bawah 10 persen,” imbuh Made Suweca. *kup