PROPERTI merupakan salah satu bisnis yang banyak diminati oleh berbagai kalangan elite. Performanya selama ini patut diakui. Namun di balik itu, bisnis ini juga memicu berbagai permasalahan yang berkaitan dengan hukum. Terlebih menyangkut legalitas yang masih banyak tidak dipahami orang yang terlibat di dalamnya.
Property Consultan, I Ketut Berata, S.H. menyatakan persetujuannya mengenai banyaknya masyarakat di Bali yang tidak memahami dasar di bisnis properti. Dengan mengantongi properti yang memiliki legalitas jelas, tentunya akan mengurangi kekhawatiran di kemudian hari, kalau terjadi penyalahgunaan wewenang. Banyak oknum yang bermain dalam hal ini, untuk itu, pengetahuan dasar tentang legalitas perlu diketahui oleh masyarakat secara luas.
“Yang perlu diperhatikan dalam bisnis properti adalah legalitas, karena banyak properti yang menuai masalah. Ada beberpa konsumen atau investor yang belum memahami betul legalitas, terutama di Bali. Banyak hal yang perlu di perhitungkan di sini, dari berbagai segi. Permasalahan yang selama ini ditemui sangat beragam, tapi kebanyakan mengarah ke legalitas tadi,” ujar Berata.
Selama pandemi Covid-19 ini, bisnis properti tidak bersinar seperti sebelumnya. Namun, sebagai pebisnis properti selalu ada langkah yang diambil untuk menciptakan market tersendiri di pasar yang ada. Marketing adalah harga mati dalam proses bisnis properti, dan menjadi acuan eksistensi pembisnis di masa pandemi ini.
“Yang perlu diperhatikan dalam berbisnis properti tentunya adalah memiliki kemampuan dalam memilih produk. Target market harus jelas. Karena beda investor, berbeda pula klaster propertinya. Ada yang bersifat user, spekulan dan juga investasi. Bagi user, tentunya kualitas properti yang dibeli nomor satu, karena bertujuan untuk dipakai sendiri. Sedangkan spekulan lebih mengarah ke transaksi berlanjut, menjual kembali setelah dibeli dengan harga yang lebih tinggi. Sedangkan investasi merupakan sistem yang berlaku untuk mengalokasikan dana dalam bentuk properti yang dibeli dengan harga di bawah rata rata. Di tengah pandemi, properti spekulan lebih banyak ditemui, karena properti harganya sedang jatuh,” imbuhnya.
Bali yang identik dengan pariwisata, pebisnis harus mulai gigit jari dengan kondisi pariwisata saat ini. Karena hal ini, investor yang bersifat user berkurang drastis. Melihat tidak adanya kemampuan daya beli yang digunakan untuk menambah pundi-pundi ekonomi, masyarakat lebih fokus untuk memenuhi kebutuhan pokok terlebih dahulu.
“Harapannya agar pelaku usaha atau investor lebih berhati hati. Lebih baik mencari informasi lengkap dari orang yang paham terkait legalitas, sebelum melakukan proses lebih lanjut. Terutama di masa pandemi ini, permasalahan properti pastinya membutuhkan biaya yang cukup besar, di mana hal tersebut sangat tidak efisien saat ini. Dan bagi pelaku usaha yang memiliki dana dingin, sekarang merupakan waktu yang tepat untuk membeli properti karena banyak properti yang di jual dengan harga miring,” tutupnya.*git