Denpasar (bisnisbali.com) –Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira menilai bila melihat kondisi yang terjadi saat ini, pemerintah seharusnya membatalkan omnibus law. Hal yang lebih mendesak yang harus dilakukan pemerintah yaitu memulihkan investasi dan menarik relokasi pabrik dengan cara penanganan pandemi, pemulihan konsumsi rumah tangga, pemberantasan korupsi, peningkatan kualitas lingkungan hidup hingga bagaimana cara pemerintah menekan biaya logistik. “Itu semua luput dari pembahasan omnibus law,” katanya.
Bhima pun menekankan pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi adalah fokus pada penanganan pandemi, kemudian pemerintah disarankan untuk membatalkan omnibus law melalui Perpu. “Jika gejolak penolakan terus berlanjut investor malah mengurungkan niat untuk realisasikan investasinya, karena stabilitas politik dan keamanan terganggu,” ujarnya.
Selain itu juga demo berdampak pada terganggunya produksi di kawasan industri. “Apabila mogok buruh berlanjut maka produsen akan lakukan pengurangan kapasitas, ini rugikan pengusaha,” tegasnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan omnibus law cipta kerja sama sekali tidak urgen saat ini. Selain karena dilakukan secara terburu-buru, juga tidak fokus pada masalah utama yakni masih tingginya angka penularan wabah. Pandemi juga hal yang harusnya menjadi fokus.
“Mana ada investor mau masuk ke indonesia kalau lihat kasus penularan Covid-19 masih tinggi dan banyak negara menutup pintu masuk untuk WNI. Itu kan sangat gamblang tapi pemerintah malah sibuk dari awal bahas omnibus law,” paparnya.
Pandemi membuat investasi kurang tertarik masuk ke Indonesia, karena daya beli masyarakat sedang menurun, mobilitas terganggu, kapasitas produksi industri juga menurun. “Saya kira ketidakmampuan pemerintah dalam melihat masalah fundamental sangat fatal bagi kepercayaan investor ke depannya,” imbuhnya .
Wajar jika omnibus law mau disahkan seminggu terakhir karena dana asing keluar Rp846 triliun dari bursa saham dalam bentuk aksi jual/nett sells. Di samping itu, akan ada ribuan aturan teknis dari mulai PP, permen sampai ke perda yang berubah akibat disahkannya omnibus law.
“Ini kan jadi kontraproduktif karena pelaku usaha mau ekspansi, rekrut tenaga kerja jadi berpikir ulang terkait dengan perubahan regulasi yang ada,” ucapnya.
Yang dibutuhkan adalah kepastian hukum pada saat resesi. Tapi banyak investor dan pelaku usaha yang akan wait and see menunggu aturan teknis omnibus law keluar. Investor kakap juga mengirimkan surat keberatan atas pengesahan omnibus law karena berdampak negatif bagi lingkungan hidup. Padahal standar negara maju dalam berinvestasi sangat ketat terkait lingkungan hidup. Jika prinsip dasar tersebut diturunkan standarnya dalam UU Cipta Kerja maka sulit mengharapkan adanya investasi besar dari negara maju.
“Sekali lagi, keluarnya dana asing dan nota protes dari investor, itu tanda adanya ketidakpercayaan bahwa omnibus law adalah solusi menarik investasi dan pemulihan ekonomi di tengah resesi,” terangnya.
Di klaster ketenagakerjaan sendiri pengurangan hak pesangon akan menurunkan daya beli buruh, ini tidak bisa diterima oleh pekerja yang saat ini rentan di phk. Padahal buruh membutuhkan pesangon yang adil untuk mempertahankan biaya hidup disaat sulit mencari pekerjaan baru.
Kemudian soal kontrak terus menerus tanpa batas akan membuat ketidakpastian kerja meningkat. Jenjang karier bagi pegawai kontrak pun tidak pasti karena selamanya bisa di kontrak. Praktik ini merupakan strategi pengusaha untuk menekan biaya pensiun atau pesangon dan tunjangan lain, tapi merugikan pekerja karena haknya tidak sama dengan pegawai tetap.
Bahkan dengan dicabutnya hak-hak pekerja dalam omnibus law, tidak menutup kemungkinan persepsi investor khususnya negara maju jadi negatif terhadap indonesia. Investor di negara maju sangat menjunjung fair labour practice dan decent work di mana hak-hak buruh sangat dihargai bukan sebaliknya menurunkan hak buruh berarti bertentangan dengan prinsip negara maju.
Bhima pun menambahkan kemudian pembahasan pasal per pasal idealnya dengan kajian yang mendalam. Setiap ditanya mana kajiannya, pemerintah tidak bisa menunjukkan. “Hanya sepotong potong. Repot juga kalau urusan ekonomi masyarakat se-Indonesia yang termuat dalam pasal pasal omnibus law kemudian dibahas secepat kilat. Padahal ada masalah pangan yang strategis, kemudian masalah tenaga kerja, proyek pemerintah dan lingkungan. Artinya kualitas regulasinya diragukan,” tutupnya.*dik