Denpasar (bisnisbali.com) – Tidak hanya pariwisata, dampak pandemi Covid-19 di Bali telah dirasankan oleh segala sektor. Hal ini dikarenakan melemahnya daya beli masyarakat. Seperti yang terjadi pada industri rumahan, keripik belut yang merasakan penurunan omzet hingga 45 persen.
Bagian Pemasaran, Kelompok Pengolahan dan Pemasaran (Poklahsar) Keripik Belut Taman Griya, Kediri Tabanan, Ida Bagus Komang Suardana, saat ditemui di Denpasar, Minggu (20/9) kemarin, mengatakan, sebelumnya dalam sebulan pihaknya bisa melakukan pengiriman hingga tiga kali untuk satu pelanggan. Tidak hanya belut olahan, dia juga mengaku memasarkan belut mentah. “Dalam sebulan, satu pelanggan minta 100 kilogram dan itu sampe tiga kali pengiriman. Sekarang satu kali saja dalam sebulan,” ujarnya.
Demikian juga untuk keripik belut yang menyasar minimarket dan warung-warung besar, di tengah pandemi Covid-19 ini pengiriman jarang dilakukan. “Sistem kami jika barang sudah habis terjual, baru melakukan pengiriman lagi. Biasanya dihubungi jika barang sudah habis. Di tengah pandemi ini barang sulit habis,” ungkapnya.
Pria asal Buleleng ini pun mengaku di tengah pandemi ini penurunan omzet dirasakan hingga 45 persen. Hal tersebut menurutnya dipengaruhi daya beli masyarakat yang lemah saat ini.
Diceritakannya, usaha keripik belut yang digeluti oleh ayah mertuanya ini sudah ada sejak beberapa tahun silam. Tidak hanya menyasar pasar di Bali, olahan keripik belutnya juga pernah mencapai beberapa daerah lainnya, seperti Sulawesi dan Kalimantan. Harga jual keripik belut mulai dari Rp 5.000 per bungkus, hingga Rp 180.000 per bungkus dengan berat 1 kilogram.
Dalam pemasarannya, keripik belut tersebut pun sudah lengkap dengan PIRT dan BPOM dan diekmas kemasan menarik. Sebelumnya ia juga mengaku telah menyasar supermarket besar di Bali. “Sekarang permintaan minim, beberapa tempat juga tidak lagi kami suplay,” imbuhnya. *wid