Tabanan (bisnisbali.com) –Selain Tabanan sebagai daerah tujuan pasar dari produk pertanian dari luar Bali, kini sejumlah petani di Tabanan telah mampu memposisikan diri sebagai pemasok kebutuhan khususnya bawang prei (bawang daun) untuk memenuhi kebutuhan pasar luar Bali. Upaya tersebut sekaligus sebagai solusi di tingkat petani lokal guna mendapatkan harga jual yang menjanjikan pada saat panen tiba.
Salah satu petani bawang prei di Banjar Pacung, Baturiti Tabanan, I Made Adi Surya Ningrat, Rabu (9/9) kemarin, mengungkapkan, sejumlah komoditas hasil pertanian di Tabanan selain terserap ke pasar tradisional juga diserap pasar luar Bali khususnya Jawa. Kondisi tersebut sekaligus menjadi penolong untuk terdongkraknya harga jual hasil pertanian di tengah menurunnya permintaan pasar dari kalangan hotel dan restoran dampak dari pandemi Covid-19.
Menurutnya, serapan pasar luar Bali untuk bawang prei rata-rata bisa mencapai 3 truk hingga 7 ton per sekali kirim. Kondisi tersebut sekaligus membuat harga untuk bawang prei di tingkat petani tergolong stabil dibandingkan dengan jenis sayur lainnya saat ini. Saat ini harga bawang prei berkisar Rp 6.000 sampai Rp 6.500 per kilogram.
“Harga bawang prei ini tergolong stabil di tengah pandemi Covid-19. Namun, jika dibandingkan dengan kondisi harga di tahun-tahun sebelumnya, harga saat ini merupakan yang terendah atau hampir sama dengan kondisi pada saat krisis moneter pada 1997 silam,” tuturnya.
Lanjutnya, budi daya bawang prei ini dengan luasan 1,5 hektar ini merupakan usaha yang baru digeluti sejak setahun terakhir, setelah sempat mengusahakan bercocok tanam tomat. Ia beralih ke bawang prei karena hasil yang didapat dari budi daya tanaman tomat cenderung tidak menguntungkan, karena harga tomat yang riskan anjlok. “Sebenarnya anjloknya harga tomat yang sampai menyentuh Rp 500 per kilogram seperti yang terjadi saat ini tidak terjadi saat ini saja, namun tahun-tahun sebelumnya juga selalu terjadi,” kilahnya.
Ketika harga tomat anjlok, maka sebagian besar petani tomat akan membiarkan produksinya membusuk di kebun atau tidak melakukan panen karena pertimbangan ongkos panen yang tidak menutup dengan harga jual. Kondisi ini sudah sempat disampaikan ke dinas terkait, namun selama ini hasilnya belum maksimal untuk bisa membantu mengantisipasi atau menyikapi ketika harga tomat ini jatuh di tingkat petani.
“Sebenarnya harapan kami agar petani bisa diberikan pelatihan atau pendampingan, khususnya dalam menyikapi biaya produksi misalnya pupuk maupun obat-obatan yang mahal dengan menggunakan cara alternatif atau organik. Namun, harapan tersebut belum maksimal dipenuhi hingga saat ini,” keluhnya. *man