Hasil Panen Tak Diserap Hotel dan Restoran, Petani di Baturiti Terpaksa Babat Tanaman Sayur  

Penundaan pembukaan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali membuat sejumlah petani sayur di Baturiti merugi.

523
SAYUR - Petani membabat tanaman sayur untuk diganti jenis sayur lainnya yang lebih cocok dijual di pasar tradisional.

Tabanan (bisnisbali.com) –Penundaan pembukaan wisatawan mancanegara (wisman) ke Bali membuat sejumlah petani sayur di Baturiti merugi. Sejumlah petani terpaksa membabat tanaman sayuran, mengingat jenis sayur yang dikembangkan adalah komoditas untuk serapan standar hotel dan restoran sehingga tidak berpotensi terjual di pasar lokal.

Seorang petani sayur di Baturiti, Wayan Mustika, Selasa (25/8) kemarin, mengungkapkan, awalnya rencana Pemerintah Provinsi Bali yang akan membuka kunjungan wisman ke Pulau Dewata pada 11 September 2020 memberi angin segar bagi petani sayur. Itu sebabnya, banyak kalangan petani sayur di Baturiti mulai kembali mengembangkan komoditas pertanian untuk diserap hotel dan restoran. Contohnya, selada, sukini, tomat, lettuce head (selada bulat).

“Penanaman sayur ini sudah dimulai sejak dua bulan lalu dengan harapan pada saat panen yang jatuh pada September nanti, produksi sudah bisa kembali terserap ke kalangan hotel dan restoran seiring dengan dibukanya kunjungan wisman ke Bali,” tuturnya.

Kata Mustika, kini dengan penundaan wacana pembukaan kedatangan wisman ke Bali, tentu membuat petani menjadi rugi karena tanaman yang sudah diusahakan mau tidak mau harus menyesuaikan dengan pangsa pasar yang ada saat ini yakni, pasar tradisional. Bercermin dari hal itu, petani terpaksa membabat habis tanaman sayur yang sudah diusahakan sebelumnya untuk pengembangan jenis sayur kebutuhan pasar tradisional.

Pertimbangannya, jika tetap bertahan dengan komoditi standar sayur serapan hotel dan restoran, maka hasil panen nanti berpotensi tidak akan terserap karena pangsa pasarnya belum ada. Sementara, jika dilempar ke pasar tradisional tidak akan laku. Padahal, selama proses budi daya membutuhkan biaya yang besar untuk menjaga produksi dan kualitas sayur hingga sampai pada masa panen nanti.

Dari sisi nominal dengan luasan setengah hektar budi daya hampir selama tiga bulan, kerugian biaya yang ditanggung sudah mencapai Rp 30 jutaan. Biaya tersebut untuk kebutuhan olah tanah, pembelian bibit hingga antisipasi hama. “Biaya tersebut belum balik modal, namun sudah harus beralih lagi ke jenis sayur lainnya untuk bisa terserap oleh pasar,” keluhnya. *man