Tabanan (bisnisbali.com) –Pengelola Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, Penebel, sudah sejak dahulu membangun sinergi dengan sektor pertanian. Sebagai salah satu objek wisata yang menawarkan keindahan alam pertanian, peran petani tidak bisa dipisahkan dalam pembangunan pariwisata di kawasan tersebut. Hal itu diungkapkan Manajer Oprasional DTW Jatiluwih, I Nengah Sutirtayasa.
Dia mengatakan, sinergi dengan sektor pertanian dicerminkan dengan menyisihkan pendapatan DTW ke sektor pertanian di kawasan Jatiluwih, baik yang berkutat di lahan basah maupun lahan kering. “Kami di DTW Jatiluwih memang menonjolkan sektor pertanian sebagai daya tarik bagi wistawan utuk datang berkunjung. Jadi bisa dibilang adanya sebuah pariwisata, merupakan sebagai bonus bagi petani, selaian pendapatan yang diterima dari tugas pokok mereka sebagai pertani,” tutur Sutirtayasa, Senin (10/8) kemarin.
Menurutnya, sektor pertanian sebagai sebuah atraksi wisata di Jatiluwih, maka sudah seharusnya para pelaku usaha pertanian ini mendapatkan dampak positif dari sisi materi. Bercermin dari itu pula, sejak terbentuknya manajemen DTW Jatiluwih sekitar 2014 lalu yang sebelumnya dikelola oleh desa, telah dibangun sinergisitas dengan didasarakan perjanjian dari lima pihak yang meliputi, unsur dua adat, satu subak, satu desa dinas, ditambah lagi Pemerintah Kabupaten Tabanan.
Kata Sutirtayasa, Jatiluwih adalah sebuah satu desa yang terdiri dari delapan banjar. Delapan banjar ini kemudian terbagi menjadi dua adat, lima di antaranya masuk ke adat Jatiluwih, sedangkan tiga banjar lainnya masuk ke adat Gunung Sari. Selain itu, di dalam desa dan dua adat ini, terbentuk satu paruman subak yakni subak basah yang terdiri dari tujuh tempek tersebar di adat Jatiluwih dan adat Gunung Sari dengan jumlah mencapai 527 KK, ada juga subak kering yang ada di adat Jatiluwih dan ada di adat Gunung Sari mencapai 421 KK.
“Ditambah lagi Pemerintah Kabupaten Tabanan karena Jatiluwih berada kawasan, sehingga wajib juga berkontribusi terhadap daerah. Kami di manajemen cuma mengelola hasil pendapatan dari pariwisata untuk kemudian dikembalikan lagi dalam bentuk pah-pahan pada pihak-pihak tersebut,” ujarnya.
Dari pah-pahan tersebut, kontribusi yang disisihkan ke sektor pertanian (subak) mencapai 25 persen. Pah-pahan yang disetorkan ke subak ini dimanfaatkan untuk membiayai sejumlah kegiatan berkaitan dengan sektor pertanian contohnya perbaikan pura subak, hingga membiayai aktivitas budaya dan ritual keagamaan di persawahan.
“Alokasi ke sektor pertanian tersebut, kami tambahkan lagi di manajemen DTW Jatiluwih dengan memasukan sejumlah program langsung yang menyentuh ke petani dan masyarakat desa Jatiluwih. Salah satunya, menopang biaya kebutuhan pupuk, sehingga subsidi pupuk dari pemerintah diterima oleh petani secara gratis,” kilahnya.
Harapannya, dengan alokasi ke sektor pertanian yang didapat dari kedatangan wisatawan ke Jatiluwih ini, setidaknya petani sebagai objek daya tarik wisata bisa merasakan langsung manfaatnya. Sekaligus upaya tersebut dilakukan untuk pemerataan pendapatan, sehingga sektor pertanian di Jatiluwih bisa tetap eksis seiring dengan keberadaan sektor pariwisata yang ada.*man