Denpasar (bisnisbali.com) –Pemerhati ekonomi dan perbankan Viraguna Bagoes Oka mengatakan ada beberapa alasan mengapai resesi menimpa Bali. Mantan Kepala Perwakilan Bank Indonesia Bali ini menyebutkan ada lima alasan yaitu pertama, era sebelum 1998. Bali yang secara historis, filosofis dan geografis telah diberikan taksu keberkahan luar biasa oleh Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan keindahan alam, kesuburan tanah pertanian dan keramahtamahan masyarakat serta budayanya yang adi luhung sebagai suatu nikmat yang tiada duanya di dunia. Alhasil Bali sampai dengan 1989 telah menjadi salah satu destinasi pariwisata holistik berkualitas yang sangat digandrungi wisatawan mancanegara yang seringkali Bali dijuluki sebagai The Island of God karena nilai budaya dan spiritualitas masyarakatnya.
Kedua, seiring dengan perjalanan waktu, Bali dengan keindahan alam dan kesuburan tanahnya, telah membuat masyarakatnya terbuai dalam kenyamanan yang kebablasan dan telah mengabaikan keunggulan pertanian Bali dengan sistem subaknya telah mendunia. Masyarakat krama Bali telah “terjebak” dalam orientasi pariwisata yang semula berbasis pariwisata berkualitas holistik bergeser secara pasti menjadi pariwisata bertarget kuantitas pragmatis semata, sehingga nilai-nilai Tri Hita Karana, Tri Kaya Parisudha dan Catur Purusa Artha mulai terabaikan.
Ketiga, Bali dengan tatanan nilai budaya bertaksu mulai terlihat mengalami pergeseran adalah setelah krisis ekonomi periode 1998-2008 (akibat kerusuhan etnis 1998), Bali telah berubah total seiring dengan telah dijadikannya Bali sebagai destinasi perpindahan penduduk besar-besaran dari seantero nusantara dengan tujuan mengadu nasib, berinvestasi, berbisnis sekaligus bermukim di Bali. Bali dianggap sebagai daerah teraman dan terharmonis untuk hidup damai karena masyarakat Bali sangat bersahabat dan ramah terhadap krama tamiu.
Keempat, pada periode 2008-2018 dengan datangnya krisis mortgage (crash) 2008 di Amerika telah mengakibatkan bertambahnya lagi migrasi penduduk mancanegara ke Bali untuk mengadu peruntungan. Selanjutnya apa terjadi? Mudah ditebak, hukum ekonomi dan bisnis berlaku, supply dan demand bergerak cepat, serta transaksi/spekulasi menjamur di semua sentra wilayah Bali.
Bali telah berubah total. Masyarakatnya berubah mindset atau cara pandangnya lebih berorientasi kepada materi dan dolar semata dan mengabaikan nilai-nilai kepatutan , budaya Bali yang berbasis nilai-nilai agama dan hukum karma. Properti dan tanah menjadi primadona dan ajang bisnis spekulasi utama sehingga harganya meningkat fantastis tak terbendung sampai di luar azas kepatutan (over value). Jual beli properti, investasi hotel/villa, pariwisata massal hingga bisnis hiburan, bisnis kuliner dan MICE /Pre wedding dan lainnya banyak pula dibiayai oleh lembaga keuangan dan perbankan tanpa mengindahkan prinsip ke hati-hatian dan mitigasi risiko sesuai dengan naturenya lembaga keuangan/ perbankan.
Kelima, puncak antiklimaks badai mulai datang lagi di awal 2018 dengan dimulainya perang tarif AS-Tiongkok, krisis Brexit Eropa hingga desrupsi perang dagang lanjutan AS-Tiongkok 2019 yang tidak berkesudahan sampai akhirnya datanglah musibah terbesar di abad ini yaitu virus corona yang lebih dikenal dengan sebutan covid-19. Pandemi ini mengancam nyawa manusia karena belum ditemukan obatnya dan bersamaan datangnya krisis multidimensi terdasyat mengakibatkan terjadinya resesi dan depresi telah melumpuhkan ekonomi dunia termasuk Bali.*dik/bersambung