Viraguna : Siapkah Bali Menghadapi Resesi? (1)

Pemerhati ekonomi Viraguna Bagoes Oka menilai krisis multidimensi yang datang bertubi-tubi dalam 3 tahun terakhir hingga datangnya wabah corona

393
Pemerhati ekonomi dan perbankan Viraguna Bagoes Oka menilai, akibat pandemi Covid-19 atau virus corona, di bidang industri keuangan dan perbankan di Indonesia termasuk Bali diprediksi yang paling terpukul.

Denpasar (bisnisbali.com) –Pemerhati ekonomi Viraguna Bagoes Oka menilai krisis multidimensi yang datang bertubi-tubi dalam 3 tahun terakhir hingga datangnya wabah corona saat ini telah meluluh lantakkan sendi-sendi perekonomian dunia tanpa mampu dibendung dan dihindari oleh hampir seluruh negara di dunia. Bencana dan ancaman kesehatan yang bersamaan dengan krisis ekonomi secara simultan tersebut telah mengakibatkan ambruknya sistim daya tahan perekonomian dunia termasuk Indonesia.
Krisis ekonomi yang mulai muncul sejak 2018 disebut dengan berbagai nama mulai dari disruption ekonomi, turbulensi ekonomi maupun krisis/ketidakpastian ekonomi. Ditambah adanya perang dagang AS dan Tiongkok yang berkepanjangan hingga datangnya virus covid-19 pada awal 2020 telah melengkapi collapsnya perekonomian global, regional dan lokal termasuk Bali.

Dampak dari collapsnya perekonomian dunia tersebut telah melampaui akibat dari krisis ekonomi 1998, Bom Bali I dan II 2002 hingga krisis mortgage 2008. Akibatnya dunia saat ini telah menghadapi resesi terburuk yang belum pernah terjadi sebelumnya sejak 1930 sesuai catatan Bank Dunia.
Sebagaimana diketahui, resesi ekonomi yang berlangsung lama dapat menyebabkan depresi ekonomi. Resesi sebagai kondisi ketika pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif atau ketika produk domestik bruto (GDP/PDB) mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut atau lebih.

IMF mengatakan ekonomi global pada 2020 akan tumbuh negatif 4,9 persen. Ini tentu lebih buruk dari laporan bulan April 2020 yang tercatat minus 3 persen. Sementara itu, OECD pertumbuhan ekonomi dunia terkontraksi minus 6-6,7 persen, sementara Bank Dunia menyebutkan bisa minus 5 persen dan dianggap lebih buruk dari tekanan ekonomi masa depresi dahsyat pada 1930. *bersambung