Denpasar (bisnisbali.com) –Bali akan mengangkat sesuatu yang baru untuk menjadi daya tarik bagi wisatawan. Working from Bali atau bekerja dari Bali disebut menjadi peluang yang bisa dikembangkan sebagai tujuan wisata baru. Yakni dengan mengembangkan “working space” yang memadai bagi para wisatawan.
“Bicara masalah ‘working from Bali’ atau bekerja dari Bali, saya jadi teringat cerita seorang warga negara Prancis yang dalam jangka waktu setahun bisa dua kali berkunjung ke Bali dalam rentang waktu yang cukup lama,” tutur Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok Ace) saat membuka Webinar series #5 dengan tajuk “Road Map to Bali Next Normal : Imagine Working From bali, Why Not?”, Jumat (26/6).
Ternyata, lanjut Cok Ace, warga negara Prancis itu memang sengaja bekerja dari Bali, tinggal di Bali untuk mengurus perusahaannya dengan modal laptop kecil dan teras vila sederhana di Ubud. “Dari cerita tersebut, saya pikir ‘working from Bali’ bisa dilakukan,” imbuhnya.
Menurut Cok Ace, pandemi Covid-19 adalah momentum yang tepat, karena di sisi lain juga menghasilkan kebiasaan-kebiasaan baru. Salah satunya, bekerja tidak melulu dari kantor. Tapi bisa dari rumah atau tempat lain dengan lebih sehat, lebih fresh dan tanpa perlu pusing sewa kantor atau berdesakan di lift.
“Bali punya modal besar untuk hal tersebut. Pertama, udaranya relatif bersih dengan cuaca yang stabil sepanjang tahun. Lalu pemandangan memukau, pasir putih, langit biru, merupakan perwujudan bersih yang sesungguhnya,” jelasnya.
Cok Ace menambahkan, Bali juga mempunyai sisi kesehatan yang baik, di mana suasananya lebih fresh sehingga pikiran bisa jauh dari stres. Pikiran lebih mudah dikendalikan dan tentunya lebih bermanfaat dalam bekerja secara lebih produktif. Lalu, Bali juga relatif lebih terjangkau dari segi biaya hidup dibandingkan negara lain.
“Bali memiliki vibrasi tersendiri, suatu ‘healing power’ yang diperoleh dari beragam upacara yang dilaksanakan hampir setiap hari. Memberikan ketenangan bagi siapa pun,” paparnya.
Dalam aspek keamanan dan kenyamanan, Cok Ace menyebut masyarakat Bali sangat terkenal dengan keramahan atau hospitality-nya. Orang Bali sangat menerima perbedaan. Asalkan tidak menimbulkan ketersinggungan, maka akan sangat mudah orang luar untuk nyaman berada di Bali. Dari sisi infrastuktur, Bali sedang giat membangun dan menyempurnakan segala akses transportasi baik darat, laut maupun udara. Pembangunan juga kini menyasar kawasan Bali utara dan Bali barat, dengan jalan tol serta penyempurnaan bandara dan pelabuhan. Pelabuhan Benoa misalnya, disiapkan untuk menampung kapal cruise berukuran besar dengan fasilitas memadai.
“Potensi luar biasa ini, sangat berpeluang untuk dikembangkan, dengan menyasar para pekerja yang kini lazim disebut ‘digital nomad’,” katanya.
Cok Ace menambahkan masih ada beberapa hal lain yang patut disempurnakan seperti akses internet yang lebih cepat dan stabil. Beruntung, Sebagian besar wilayah Bali bukan merupakan ‘blind spot’ sehingga memudahkan akses internet. Bali juga punya program ‘Bali Smart Island’ sehingga di masa mendatang, tidak akan ada lagi kawasan di Bali yang tidak tersentuh akses internet. Selain itu, juga perlu dirancang system visa yang bersifat long stay dengan syarat-syarat tertentu.
“Sekali lagi, jika kita cerdas menciptakan Bali sebagai ‘working space’ untuk para pekerja dari mancanegara, mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan besar dunia, maka ini adalah peluang besar,” tandasnya.
Dubes Indonesia untuk China dan Mongolia, Djauhari Oratmangun mengatakan Bali mempunyai modal besar untuk program ‘Working from Bali’ sesuai paparan Wagub Cok Ace. Bahkan sebenarnya sudah sejak lama, banyak wisatawan yang datang untuk bekerja sekaligus berwisata ke Bali. Tentu saja, internet yang stabil dan cepat akan jadi modal dasar untuk itu dan akan sangat baik jika dijalankan dengan program ‘Bali Smart Island’. Ditambah modal alam dan fasilitas di Bali, maka akan menjadi tempat kerja yang nyaman bagi ‘digital nomad’ sekaligus memberikan pengalaman wisata tersendiri.
“Di Cina, sudah banyak perusahaan yang melihat Bali sebagai salah satu lokasi untuk ‘working space’, mulai dari perusahaan IT raksasa hingga e- commerce yang memang sudah memberikan keleluasaan bagi karyawannya untuk bekerja, dari manapun,” ujarnya.
Terlebih, kata Djauhari, para ‘digital nomad’ ini punya kecenderungan spend money yang tinggi. Kedepannya, perlu juga promosi yang signifikan di negara-negara dengan perusahaan raksasa, untuk para pekerja kreatif, desainer, dan mereka yang tidak memerlukan kantor formal. Jangan lupakan pula promosi lewat sosial media yang kini punya dampak sangat besar.
CEO Indonesia Bali Chapter, Paulus Herry Arianto mengatakan dampak pandemi Covid-19 yang menghasilkan kampanye ‘work from home’ bisa dielaborasikan menjadi ‘work from Bali’, karena nama Bali sebagai destinasi wisata dan Bali punya segala potensi untuk itu.
Dikatakan, para ‘digital nomad’ sebenarnya sudah sejak lama memasukkan Bali sebagai salah satu pilihan utama untuk working space, karena cuacanya bagus, living cost terjangkau, kaya sejarah dan tradisi serta dianggap punya aspek keamanan yang cukup. Bali juga punya keunggulan dengan kebijakan-kebijakan pemerintahnya yang sangat mendukung sektor pariwisata. Terlebih dalam visi Gubernur dan Wakil Gubernur saat ini, melihat sektor pertanian dan industry 4.0 sebagai pilar penting mendukung pariwisata.
“Salah satu survey kepada para pekerja dunia saat ini menunjukkan 78 persen ingin lebih fleksibel dalam tempat dan waktu kerja, 82 persen ingin kehidupan kerja yang lebih seimbang (less stress) dan 54 persen pekerja akan meninggalkan pekerjaannya saat ini jika memperoleh pekerjaan yang lebih fleksibel,” paparnya.
Paulus menambahkan, kemudahan dalam pemberian visa atau kebijakan khusus visa untuk digital nomad ini juga sangat penting untuk menunjang era ‘working from Bali’ ini. Setiap banjar adat harus dapat manfaat dari jenis wisata baru ini dan tiap kabupaten juga hendaknya menyediakan working space khusus.
“Berdasarkan pengamatan dan perhitungan saya, rata-rata para ‘digital nomad’ ini minimal menghabiskan 1300 US Dollar per bulan per orang, dan jika dihitung per tahun sama dengan 15.600 US Dollar per tahun. Jika angka ini dikalikan 100 ribu orang saja, maka potensinya mencapai 1,56 miliar US Dollar atau sebanding Rp 21,4 triliun,” terangnya. *kk