Denpasar (bisnisbali.com) –Perbedaan data kasus Covid-19 di Bali masih saja terjadi. Salah satunya tampak dalam update, Minggu (21/6), terdapat perbedaan yang mencolok antara data Gugus Tugas Nasional dan Provinsi Bali. Di mana Gugus Tugas Nasional mengumumkanĀ penambahan 37 kasus baru, sedangkan Pemprov Bali hanya mencatat tambahan 32 kasus saja.
“Itu salah pendataan di pusat. Nanti diperbaiki hari ini (Senin, 22 Juni 2020, red). Pusat yang salah, bukan kita. Biasa gitu, mungkin salah ketik saja,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, dr. Ketut Suarjaya dikonfirmasi, Senin (22/6).
Menurut Suarjaya, perbedaan data dengan Gugus Tugas Nasional sudah dua kali dialami Bali. Pihaknya memastikan, data yang benar dan valid tetaplah yang dikeluarkan oleh provinsi. Namun terkadang, ada saja pihak yang mengambil data di luar data Dinas Kesehatan Provinsi. Padahal, data itu tidak benar.
“Di luar itu (data Dinas Kesehatan Provinsi Bali, red), kami tidak tanggung jawab, karena kan saya tidak tahu darimana dapat data,” tegasnya.
Suarjaya menegaskan, pihaknya tidak ada menyembunyikan kasus-kasus positif Covid-19 di Bali. Setiap ada kasus positif, pasti didata termasuk yang meninggal dunia. Alurnya, fasilitas kesehatan mengirim data pasien dengan hasil uji swab positif Covud-19 ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota, lalu ke Dinas Kesehatan Provinsi, dan terakhir dikirim ke pemerintah pusat. Data tersebut muncul dalam aplikasi real time. Selain itu, ada tim validasi yang khusus mengecek sehingga data dipastikan sinkron antara kabupaten/kota dan provinsi.
“Cuma kadang-kadang kan dikutip terlalu cepat sehingga belum divalidasi sudah dikutip, kan gitu. Kadang-kadang ada overlapping datanya, karena data kemarin sudah dilaporkan, besoknya dilaporkan lagi,” paparnya.
Terkait dugaan kebocoran data pasien Covud-19 di Bali, Suarjaya mengaku tidak pernah mengirim data pasien Covid-19 ke pihak mana pun yang tidak prosedural. Data pasien positif Covid-19 di Bali sifatnya terpadu dan hanya dikirim ke pemerintah pusat. Apalagi di media sosial disebutkan bahwa ada 230 ribu data yang bocor dan dijual seharga Rp 2,8 juta. Sedangkan kasus positif Covud-19 di Pulau Dewata tidak sampai sebanyak itu.
“Saya tidak tahu bocornya di mana. Tujuannya juga untuk apa. Kalau cuma tahu data seseorang, si ini ada di alamat ini, untuk apa? Memang mau diapain datanya,” katanya.
Terpisah, Kepala Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Provinsi Bali Gede Pramana mengatakan, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) telah menegaskan bahwa tidak ada penjualan 230 ribu data pribadi pasien Covid-19 di Indonesia. Dengan kata lain, tidak ada data pasien yang bocor. Namun demikian, munculnya isu ini di media sosial akan dijadikan sebagai peringatan agar ke depan lebih meningkatkan sistem keamanan data.
“Dengan adanya begini, walaupun itu bukan data kita, setidaknya kita akan meningkatkan sistem keamanan kita. Kalau menelusuri itu, nanti kepolisian yang akan menelusuri,” ujarnya. *kk