COVID–19 telah membuat terhentinya aktivitas sosial masyarakat. Kondisi tersebut juga sangat berpengaruh terhadap tidak kondusifnya keberadaan UKM di Bali yang paling dahulu terpuruk tidak berdaya, sehingga memberi andil besar pada perekonomian Bali yang melesu bahkan nyaris mati suri. Ini sejalan dengan keberadaan kalangan UKM di Bali yang merupakan mayoritas sekaligus dominan menggerakkan perekonomian Bali.
Prediksi mantan Dirut Bank Sinar, pada akhir 2018 saja, jumlah pelaku UMKM di Bali mencapai 326.009 yang tersebar di sembilan kabupaten/kota. Jumlah tersebut meningkat hingga 13.042 atau 4 persen dibandingkan data Desember 2017 yang hanya 312.967 UKM. Bercermin dari itu, dia berasumsi, jika 2019 terjadi lonjakan 4 persen atau setara 33.905 pelaku UMKM di Bali.
“Peningkatan jumlah UKM tersebut salah satunya didorong oleh talenta kewirausahaan yang sangat kuat,” ujarnya.
Jelas Kade Perdana, dikaitkan dominasi jumlah pelaku UMKM di Bali ini dengan adanya kebijakan dari Pemerintah Provinsi Bali yang memberikan stimulus bagi yang terdampak covid-19, akan mampu menggairahkan UKM sekaligus memberikan dampak yang sangat besar seirama dengan upaya dari Pemprov Bali untuk menggeliatkan ekonomi di Bali di tengah pandemi.
Sambungnya, bantuan stimulus ke UMKM ini juga merupakan pelengkap dari kebijakan pemerintah sebelumnya yang diberikan ke masyarakat, salah satunya dalam bentuk BLT. Menurutnya, BLT akan mendorong daya beli konsumen, sedangkan di sisi lain untuk menggeliatkan UKM dibantu dengan stimulus. Artinya, kebijakan tersebut sudah saling melengkapi, sehingga kebijakan tersebut akan berujung pada terciptanya geliat ekonomi.
Selain itu, harapannya, kebijakan tersebut bisa makin menumbuhkan jiwa kewirausahaan, khususnya di bidang pertanian. Sebab, selama ini pertanian masih dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bergengsi sehingga itu pula membuat Bali masih memiliki ketergantungan yang tinggi pada pemenuhan hasil pertanian dari antarpulau.
Sementara itu, triwulan I 2020 data BPS Bali mencatat, sejumlah kategori lapangan usaha yang memiliki keterkaitan erat dengan pariwisata mengalami penurunan. Di antaranya, kategori I (penyediaan akomodasi dan makan minum) tercatat tumbuh negatif 9,11 persen, kategori H (transportasi dan pergudangan) tumbuh negatif 6,21 persen, dan kategori R, S, T, U (jasa lainnya) tumbuh negatif 2,82 persen. Turunnya nilai tambah yang tercipta pada kategori I bisa dipandang sebagai cerminan pengaruh waktu mengingat kategori ini mencakup berbagai aktivitas layanan yang sebagian besar ditujukan untuk wisatawan.
Selain kategori lapangan usaha yang terkait langsung dengan pariwisata, kategori C (industri pengolahan) juga diduga terkena imbas pandemi covid-19. Pada triwulan I 2020, kategori ini tercatat tumbuh (negatif) -7,95 persen dibandingkan triwulan I 2019. Pada sejumlah perusahaan industri besar sedang (IBS) telah tercatat penurunan produksi, utamanya yang merupakan komoditas ekspor.
Bercermin dari kondisi tersebut, triwulan I 2020 lalu dilihat dari struktur ekonominya, ekonomi Bali masih tercatat didominasi oleh kategori I dengan kontribusi 21,81 persen. Diikuti berturut-turut oleh kategori A (pertanian, kehutanan, dan perikanan) 13,67 persen, kategori F (konstruksi) 10,02 persen, kategori H (transportasi dan pergudangan) 9,06 persen, dan kategori g (perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor) tercatat 8,57 persen. *man