Mangupura (bisnisbali.com) –Setelah sebelumnya menghadapi wabah yang membuat ternak babi mati secara masal, kini peternak babi di Bali menghadapi pandemi covid-19. Kondisi ini seakan menambah keterpurukan para peternak. Ternak yang selamat dijual murah, bahkan nyaris tidak ada pembeli, akibat lesunya daya beli masyarakat.
Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi Indonesia (GUPBI) Bali I Ketut Hary Suyasa, saat ditemui di kediamannya di daerah Abiansemal, Badung, Selasa (28/4) mengatakan, harga babi hidup di wilayah terdampak wabah babi hanya Rp13.000 hingga Rp16.000 per kilogram. Sementara harga pokok produksi (HPP) peternak yaitu Rp25.000 per kilogram. “Biasanya kalau harga jual tambah Rp2.000 hingga Rp3.000 per kilogram dari HPP,” ungkapnya.
Menurutnya, peternak babi sangat terdampak pada kondisi ini. Pertama dengan adanya wabah pada babi membuat peternak yang sudah terdampak (ternaknya sudah mati) dalam waktu 1 tahun tidak akan bisa beternak, terhitung sejak kematian babi terakhir di wilayah terdampak. Kedua dampak covid-19 yang membuat ekonomi lesu, daya beli masyarakat rendah, membuat ternak babi tidak memiliki nilai jual yang pantas, yang juga memberi kerugian bagi peternak. Di samping itu, dampak corona juga membuat harga pakan naik yang tentunya makin membuat peternak terpuruk karena tidak mampu membeli.
Di beberapa wilayah, peternak yang kebanyakan masyarakat kecil, dikatakannya, memotong ternaknya secara berkelompok (patungan) agar ternaknya laku terjual. Di samping itu, ada pula yang menggelar patungan online. “Kami sangat apresiasi karena masyarakat mau dengan sistem gotong royong saling membantu,” jelasnya.
Di sisi lain, salah seorang peternak asal Bangli, Desak Ariani mengaku, malah membagikan secara cuma-cuma daging ternak babinya kepada masyarakat sekitar. Dia mengaku sudah berusaha menawarkan ternaknya untuk dipotong dengan sistem patungan, namun tidak ada yang mau karena kendala uang. “Karena babi sudah besar dan perlu biaya pakan, jadi dipotong dan dibagi-bagikan gratis ke tetangga,” ujarnya. *wid