Denpasar (bisnisbali.com) –Pemerhati ekonomi Prof. Dr. Gede Sri Darma, DBA. menilai Indonesia tentu dapat mengatasi pandemi corona. Hanya saja, itu perlu waktu cukup lama untuk covid-19 bisa teratasi karena rakyat Indonesia belum patuh terhadap imbauan pemerintah untuk social distancing dan stay at home.
Direktur Undiknas Graduate School (UGS) ini lebih fokus memperhatikan apa yang akan terjadi setelah pandemic corona. Pihaknya menyebutnya dengan istilah “Managing day after tomorrow: the perspective on 2020 crisis”.
“Terdapat 3 skenario perubahan yang mungkin akan terjadi after covid-19,” katanya di Renon, Selasa (14/4).
Tiga skenario tersebut di antaranya, pertama, keadaan normal yang baru. Dalam arti, pemerintah pusat berhasil mengendalikan virus corona dalam waktu 2-3 bulan ke depan atau pada Juni 2020 dengan tetap menerapkan physical distancing terbatas (dengan kasus berkisar antara 5000 sampai dengan 50.000.
Pada kondisi ini, kebijakan pemerintah berhasil mencegah kerusakan struktural ekonomi dan pertumbuhan ekonomi turun menjadi 3-4 persen. Keadaan tersebut akan terdapat sedikit gangguan pada rantai pasokan serta model bisnis akan berubah ke model bisnis digital (terdisrupsi) dan didukung dengan cara kerja yang baru.
Skenario kedua, Sri Darma menyebutnya dengan kondisi chaos. Pemerintah pusat baru mampu menangani covid-19 dalam kurun waktu 4-6 bulan dan physical distancing tetap berjalan. Kasus sekitar 50 ribu sampai dengan 100 ribu. “Kebijakan karantina akan menyebabkan terjadinya penurunan daya beli. Ekonomi tumbuh sekitar 0-3 persen,” ujarnya.Mantan Rektor Undiknas University ini menilai dari kondisi tersebut perlu diwaspadai adalah bahaya rantai pendapatan perusahaan makin terganggu dan cash buffer days perusahaan makin menipis.
Terakhir skenario ketiga adalah survival. Pemerintah dan masyarakat gagal mengendalikan penyebaran covid-19 kurang dari 6 bulan dan jumlah kasus lebih dari 100 ribu.
Yang terjadi adalah kebijakan moneter dan fiskal tidak dapat menahan laju kebangkrutan banyak perusahaan dan pengangguran sangat tinggi serta angka kemiskinan makin besar.
“Potensi terjadinya krisis perbankan serta pertumbuhan pendapatan domestik bruto (PDB) minus. Akibat tidak terdapat bahan baku alternatif maka kegiatan produksi industri terhenti,” paparnya.
Harga komoditas turun tajam, pembangunan infrastruktur terhenti. “Yang berbahaya dalam skenario ketiga ini adalah cash buffer days sudah habis,” imbuh Sri Darma.*dik