Denpasar (bisnisbali.com) –Dosen Fakultas Ekonomi Bisnis dan Pariwisata Universitas Hindu Indonesia, Putu Krisna Adwitya Sanjaya, S.E., M.Si. ditemui di kampus Unhi mengatakan, ketidakpastian global maupun domestik yang melambat karena berbagai faktor mengancam pertumbuhan ekonomi. Terlebih dengan merebaknya corona virus disease 2019 (covid-19) yang mulai merebak di Tiongkok, kemudian menjalar ke berbagai belahan dunia mengancam terjadi krisis ekonomi.
Tiga bulan lebih sudah virus corona menebar ancaman di seluruh dunia termasuk Indonesia yang berimbas pada terevisinya proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia 0,1 persen dari 5,1-5,5 persen menjadi 5,0-5,4 persen. “Provinsi Bali yang selama ini bertumpu pada sektor pariwisata, sektor ini merupakan industri yang paling terdampak penyebaran virus corona. Tapi domino effect terjadi pada sektor-sektor penunjang pariwisata, maupun pengusaha retail termasuk memberi impact terhadap sektor riil,” papar Krisna, Selasa (31/3) di Denpasar.
Setelah sektor-sektor tersebut terkena dampak siginifikan, pengaruhnya juga akan berhilir ke sektor keuangan, oleh karena pembayaran kredit dunia usaha dari perbankan akan macet dan membuat rasio kredit bermasalah meningkat. Hal tersebut secara implisit menyebabkan terkoreksinya perekonomian Bali dari 5,6-6,0 persen menjadi 4,6-5,0 persen.
“Diperlukan langkah ekstra yang komprehensif untuk menjaga ketahanan perekonomian Bali yang hampir selama tiga dasawarsa terakhir bertumpu pada sektor pariwisata dengan kontribusi 70 persen sebagai pembentuk produk domestik regional bruto,” tandasnya.
Langkah-langka yang harus dilakukan pertama, dalam jangka pendek sebagai langkah kuratif pemerintah harus mampu menjaga suasana psikologis masyarakat, pelaku usaha maupun stekeholders untuk tetap bersikap optimis dan progresif terhadap perekonomian Bali (domestik). Kedua, pemberian stimulus atau insentif yang mampu mengakselerasi kapasitas ekonomi dalam rangka pemenuhan kebutuhan masyarakat maupun dunia usaha sebagai akibat kontraksi ekonomi Tiongkok. Ketiga, kebijakan progresif dengan membuat inovasi variatif, seperti yang pernah dilakukan oleh Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia maupun Bank Indonesia dengan memindahkan kegiatan rapat-rapat dari Jakarta ke Bali untuk menstimulus pariwisata Bali. Keempat, sinkronisasi kebijakan pusat dengan daerah. Kelima, harmonisasi sektor pariwisata dengan pertanian perlu dilakukan secara serius.
“Bali memiliki sekitar 405.455 ha yang masih dapat digarap untuk pertanian. Tidak hanya berhenti jika sudah menghasilkan output tetapi perlu dilakukan proses produksi pascapanen. Ini diperlukan pengembangan industri pengolahan (sekunder) termasuk aspek pemasarannya,” tukasnya.
Hal tersebut penting dilakukan untuk menyokong industri tersier (pariwisata) di Bali yang begitu rentan akan guncangan maupun isu sekecil apa pun. “Harus bijaksana, dalam menjaga stabilitas perekonomian mikro, makro maupun sektor riil. Segenap komponen wajib bahu-membahu bersatu padu bersinergi menghadapi tantangan termasuk ketahanan ekonomi yang tengah melanda dunia saat ini sebagai dampak dari merebaknya virus corona,” pungkas Krisna. *pur