Denpasar (bisnisbali.com) –Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira saat dihubungi membenarkan resesi ekonomi akan terjadi. Diprediksi resesi ini akan berjalan sepanjang 2020 ini.
“Kondisinya memang terjadi penurunan tajam dari produksi industri manufaktur, kesulitan akses bahan baku, meningkatnya kredit macet, daya beli masyarakat merosot dan pemutusan hubungan kerka (PHK) yang dilakukan beberapa perusahaan,” katanya.
Bhima menjelaskan resesi sudah berjalan meskipun data kuartal I 2020 belum rilis. Anjloknya harga minyak mentah artinya harga komoditas unggulan ekspor, CPO, karet, batubara ikut turun. Ini berpengaruh terhadap daya beli masyarakat. Sementara market panic mengingkatkan investor dengan krisis 2008, di mana Fed lakukan quantitative easing. Beberapa bank sentral negara maju lakukan pemangkasan bunga acuan.
Ia pun menilai ada beberapa indikator resesi. Pertama, inversi kurva imbal hasil US Treasury bills. “Inversi kurva biasanya terjadi jelang resesi ekonomi” ujarnya.
Kedua, pertumbuhan produk domestic bruto (PDB) Tiongkok sebagai motor ekonomi terbesar kedua di dunia diperkirakan turun dari kisaran 5,2 persen menjadi 1,4 persen pada 2020 akibat kontraksi corona virus, factory shutdown, dan terganggunya aktivitas logistik.
Ketiga, pendapatan perusahaan dalam SP500 merosot cukup dalam. Pertumbuhan pendapatan perusahaan di indeks SP500 hanya mencapai 2,3 persen dalam setahun.
Keempat, indeks PMI manufaktur AS mengalami penurunan tajam hingga dibawah 50. Artinya, PMI di bawah 50 perusahaan cenderung menahan ekspansi dan mengurangi kapasitas produksinya karena permintaan lemah.
Kelima, The Fed lakukan pemangkasan bunga acuan hingga mendekati 0 persen, dan melakukan Quantitative Easing (QE) sebesar 700 miliar dolar AS. Fed lakukan QE di saat kondisi ekonomi AS memburuk seperti 2008.
“Ini masuk dalam kategori psikologis pasar. Kepanikan menjalar dengan cepat dipengaruhi oleh reaksi dikeluarkannya stimulus moneter dan fiskal serentak di banyak negara,” paparnya.
Logika dasarnya, jika bank sentral lakukan stimulus ekonomi artinya kondisi kedepan akan memburuk. Investor kemudian lakukan sell-off termasuk di bursa indonesia. Jadi, kata Bhima, ada beberapa faktor domestik yang perlu diperhatikan selain kepanikan pasar global.
Lambatnya penanganan virus corona, kacaunya koordinasi pusat daerah, dan stimulus fiskal yang belum merangkum semua sektor membuat investor pesimis. “Inikan semua menunggu mau lockdown atau tidak, Gubernur DKI bilang opsi lockdown, pemerintah pusat berbeda. Ini membingungkan investor. Wajar mereka nett sells saham terus,” ucapnya.
Rupiah tanpa adanya extraordinary measures akan tembus Rp16.500 – Rp17.000 dalam waktu dekat. IHSG bottomnya 3.800. Mungkin setelah itu seperti Yunani ada trading halt selama 5 minggu pada 2015.*dik