Setelah bercokol lama dilevel Rp 5.500 per kg sekaligus merupakan rekor tertinggi dengan kualitas gabah kering panen (GKP), kini harga gabah di Bali mulai alami penurunan dengan menyentuh Rp 5.000 per kg untuk di tingkat usaha penggilingan. Penurunan harga tersebut terjadi, meski dengan kondisi produksi panen gabah yang minim dampak kemarau panjang. Lalu apa yang menyebabkan penurunan harga gabah tersebut?
Pelaku usaha penggilingan padi di Tabanan sekaligus juga Ketua DPD Persatuan Penggilingan Padi (Perpadi) Bali, AA. Made Sukawetan, mengungkapkan, sejak seminggu terakhir harga gabah kualitas GKP di Bali mulai mengalami penurunan dan kemungkinan akan terus berlanjut dalam beberapa bulan mendatang. Imbuhnya, meski turun, harga gabah ini masih di atas jika dibandingkan dengan patokan harga pembelian pemerintah (HPP) yang di patok di level petani Rp 3.700 per kg dan di tingkat penggilingan Rp 3.750 per kg.
“Penurunan harga gabah ini terjadi di tengah minimnya produksi di tingkat petani di Tabanan maupun di Bali, mengingat tidak semua sentra produksi yang bisa mengolah lahan dampak dari kemaru berkepanjangan sebelumnya,” tuturnya.
Jelas Sukawetan, penurunan harga gabah di tingkat lokal ini sebagai dampak dari serbuan produksi dari antarpulau ke Bali yang mulai mengalami peningkatan seiring musim panen raya saat ini. Katanya, saat ini gabah yang masuk ke Bali ini diantaranya dari Lombok, dan dari hasil panen petani di daerah Ngawi (Jawa Timur).
“Dari segi kualitas antara produksi gabah di Bali dan antarpulau ini sama, berkualitas bagus,” ujarnya. Di sisi lain sambungnya, seiring dengan penurunan harga gabah tersebut, hal sama juga berdampak pada harga beras di tingkat usaha peninggilingan yang juga mulai mengalami penurunan saat ini. Itu tercermin dari harga beras yang dibandrol Rp 10.200 per kg sebelumnya, turun menjadi Rp 9.700 per kg saat ini. Tambahnya, kondisi penurunan harga ini juga sekaligus mencerminkan bahwa stok pangan, khususnya beras di Bali ini sangatlah cukup di tengah ancaman penyebaran virus Corona.
Sementara itu, data BPS Bali mencatat bahwa luas panen dan produksi padi di Bali berdasarkan hasil surve dengan metode kerangka sampel area (KSA), pola panen padi di Bali pada periode Januari sampai Desember 2019 relatif sama dengan pola panen 2018. Puncak panen padi berlangsung pada April atau Mei, sementara luas panen terendah teridentifikasi pada Februari.
Total luas panen padi pada 2019 tercatat 95.319 hektar dengan luas panen tertinggi pada Mei, yaitu 15.039 hektar dan luas panen terendah pada Februari, yaitu 2.342 hektar. Jika dibandingkan dengan total luas panen padi pada 2018, luas panen padi pada 2019 tercatat mengalami penurunan 15.659 hektar (14,11 persen).
2019 lalu total produksi padi di Bali tercatat sekitar 579.321 ton gabah kering giling (GKG), atau mengalami penurunan 87.749 ton (13,15 persen) dibandingkan catatan produksi 2018. Jika dibandingkan antar bulan, penurunan produksi terbesar pada 2019 dibandingkan 2018 tercatat pada Juli, yaitu 26.393 ton. Produksi tertinggi pada 2019 tercatat pada Mei yaitu 85.853 ton dan produksi terendah tercatat pada Februari, yaitu 14.145 ton. Produksi tertinggi pada 2018 tercatat pada April, yaitu 91.293 ton. Sama halnya dengan produksi pada 2019, produksi padi terendah pada 2018 tercatat pada Februari, yaitu 33.704 ton.
Kenaikan produksi padi 2019, hanya tercatat di Kabupaten Klungkung. Sementara itu, penurunan produksi padi 2019 dengan urutan mulai dari yang terbesar tercatat di Kabupaten Tabanan, Kabupaten Badung, Kabupaten Gianyar, Kabupaten Karangasem, Kabupaten Buleleng, Kota Denpasar, Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Bangli. Tiga kabupaten tercatat dengan produksi padi GKG tertinggi pada 2018 dan 2019 adalah Kabupaten Tabanan, Gianyar dan Badung. Sayangnya, pada 2019 tercatat penurunan produksi pada tiga kabupaten tersebut dibandingkan dengan catatan produksi 2018.*man