Generasi Milenial Saatnya Jadi Petani Tanaman Herbal

Fakta menunjukkan sektor pertanian tak pernah terpengaruh isu global, seperti halnya pariwisata. Pariwisata mudah terguncang, hingga ribuan pekerja pariwisata telah dirumahkan seperti kondisi saat ini.

568
Kadek Ari menunjukkan jamu buatannya

Denpasar (bisnisbali.com) –Fakta menunjukkan sektor pertanian tak pernah terpengaruh isu global, seperti halnya pariwisata. Pariwisata mudah terguncang, hingga ribuan pekerja pariwisata telah dirumahkan seperti kondisi saat ini.

Mantan karyawan hotel, I Kadek Ari Setiawan asal Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Bangli, adalah salah satu contoh generasi muda yang memilih pulang kampung akibat sektor pariwisata yang terguncang.

Pemuda 23 tahun ini kemudian memilih bertani untuk menyambung hidupnya. Ari, lantas membudidayakan tanaman bahan obat herbal seperti jahe, kunyit dan kencur.

Remaja lulusan Diploma IV Perhotelan ini, juga langsung mengolah hasil panennya ke dalam bentuk jamu ekstrak. Menariknya, industri rumahan yang dirintisnya sejak tiga bulan, langsung menembus omzet Rp 10 juta per bulan. Ari mengaku, isu virus corona menyebabkan permintaan jamu herbal meningkatkan tajam.

Dikatakan, pihaknya memproduksi sembilan jenis jamu herbal, di antaranya ekstrak kunyit putih, jahe merah, temu lawak,  minuman sari kunyit, minuman kayu sacang dan lainnya. Dengan memanfaatkan media sosial, produk yang diolah secara tradisional tanpa bahan pengawet itu telah dipasarkan ke seluruh Bali. Selain melalui media sosial, ia mengaku kerap mengikuti pameran yang dilaksanakan di semua kabupaten/kota se-Bali.

Ari, optimis tanaman obat herbal memiliki potensi yang sangat tinggi. Sektor ini diyakini dapat diandalkan sebagai tulang punggung perekonomian keluarga. Hal tersebut karena kesadaran masyarakat mengonsumsi jamu herbal sudah meningkat. “Apalagi ancaman penyakit terus menghantui seperti corona. Saya memotivasi teman-teman yang belum mendapatkan pekerjaan, ayo bertani, tanamlah bahan jamu, khususnya jahe merah. Saya siap membeli dengan harga kontrak Rp 45 ribu per kilogram,” katanya di Denpasar, belum lama ini.

Lebih lanjut dikatakan, produksinya terkendala bahan baku, khususnya jahe merah yang tergolong langka nan-mahal. Terkait alat produksi, ia mengaku mempertahankan cara tradisional, tanpa menggunakan mesin. “Semua produk kami menggunakan alat tradisional seperti kikihan bandil (parutan berbahan rotan), dan semua proses produksi dijamin tanpa bahan pengawet,” ungkapnya.

Terkait harga dijamin cukup terjangkau, yaitu  jamu ekstrak dibanderol Rp45 ribu untuk 25 kali sajian, sedangkan minuman kunyit dan sacang Rp 5 ribu per botol.

Dari bertani dan melakukan pengolahan, ia telah membuktikan, penghasilan yang diperoleh tidak kalah dengan gaji karyawan. Karenanya, ia memotivasi para pekerja pariwisata yang dirumahkan agar tidak putus asa.

“Pertanian cukup menjanjikan, tapi saya rekomendasikan menanam bahan obat herbal. Pasti laku,” ucap Ari. *pur