Denpasar (bisnisbali.com) –Produksi arak Bali menjadi penopang hidup bagi masyarakat yang ada di Desa Tri Eka Buana, Kecamatan Sidemen, Kabupaten Karangasem. Salah seorang petani arak, I Nyoman Redana, Kamis (30/1), masyarakat Desa Tri Eka Buana, sudah memproduksi arak sejak zaman nenek moyang. Namun selama ini produksi arak dianggap tidak legal sehingga petani arak kerap berhadapan dengan aparat.
Redana menuturkan, arak dibuat secara tradisional tanpa ada menggunakan zat kimia. Pada awalnya, arak diproduksi untuk kepentingan upacara (sesajen). “Lambat laun ada penikmat arak kami, sehingga berkembang seperti saat ini. Banyak sekali yang menyukai arak untuk obat atau diminum untuk sekadar menyegarkan tubuh,” tukasnya. Tetapi para petani tidak tenang dalam berproduksi karena kerap diburu aparat, bahkan hingga ke rumah-rumah warga.
Setelah ada wacana dari Gubernur Wayan Koster untuk melegalkan perdagangan arak tradisional, para petani merasa lega. “Di desa kami sudah ada sosialisasi terkait apa itu legalitas dan sudah mulai dibentuk koperasi arak yang merupakan wadah bagi perajin arak,” ungkapnya.
Dikatakan, ia memiliki banyak saudara yang selama ini menjual arak ke luar daerah Karangasem seperti ke Klungkung, Tabanan, Gianyar, Badung, Denpasar bahkan ke Jawa Timur. “Selama ini mereka kucing-kucingan dengan petugas dan harus bisa membaca situasi. Tetapi setelah ada wacana ini, hal-hal seperti itu sudah bisa dikurangi sedikit demi sedikit,” ucapnya. Hal tersebut yang sudah dirasakan oleh para perajin arak.
Dari 1.700 KK di Desa Tri Eka Buana, 92 persen adalah petani arak yang secara turun temurun menggantungkan hidupnya dari produksi arak. “Arak adalah mata pencarian kami sehari-hari. Jadi wacana ini menjadi angin segar bagi kami,” tukasnya.
Terkait pembentukan koperasi arak, dikatakan, baru sebatas pendataan petani arak dan belum mulai beroperasi untuk memasarkan atau menjalankan organisasi koperasi tersebut. “Baru sebatas pendataan dari banjar A berapa petani, banjar B, C dan D berapa orang. Jadi belum terakomodir dengan baik,” ucapnya.
Terkait harga dikatakan tergantung kadar kandungan alkoholnya. Untuk kadar 40-45 persen per 10 liter dibandrol Rp220.000- 250.000 ini termasuk kelas satu. Untuk kadar alkohol 30 persen harga Rp200 ribu per 10 liter. “Harga dipengaruhi oleh musim. Karena saat musim kemarau, produksi akan menurun otomatis harga naik, sedangkan musim hujan produksi akan meningkat dan harga mulai turun,” ungkapnya. Seperti saat ini produksi nira sangat terbatas, kemungkinan dua hingga tiga minggu ke depan produksi baru akan melimpah. Saat musim hujan biasanya dari 15 pohon bisa dihasilkan arak 20 liter per dua hari, saat kemarau panjang ini minimal tiga hari baru bisa memproduksi 20 liter arak.
Dengan dilegalkan perdagangan arak Bali, para petani arak tidak was-was lagi karena dulu razia arak dilakukan sampai ke rumah-rumah penduduk. “Sekarang kami bisa bekerja dengan tenang. Harapan kami, pemerintah bisa membantu perajin arak dengan alat penyulingan arak dan penyuluhan tentang koperasi arak agar masyarakat lebih paham selesai bantuan permodalan,” ucapnya.
Dengan memiliki 20 pohon kelapa dalam sebulan, petani bisa memproduksi sedikitnya 300 liter arak dengan omzet sekitar Rp 6 juta belum dipotong biaya produksi. Bila pedagang arak dilegalkan, ia berharap akan ada kenaikan harga karena target market lebih kepada pariwisata. *pur