Cegah NPL, Tingkatkan Kualitas Analisa Kredit

Kredit bermasalah (non performing loan/NPL) merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. Kondisi perekonomian saat ini membuat NPL meningkat.

370
I Komang Gede, S.E., M.M. 

Denpasar (bisnisbali.com) –Kredit bermasalah (non performing loan/NPL) merupakan salah satu indikator kesehatan kualitas aset bank. Kondisi perekonomian saat ini membuat NPL meningkat.

Guna mencegah hal tersebut, Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Hindu Indonesia (Unhi), I Komang Gede, S.E., M.M., mengatakan, pentingnya analisis penilaian calon debitur kredit pada aspek karakter dipandang penting untuk meningkatkan kualitas analisa kredit untuk mencegah NPL.

Ia menambahkan, memang kondisi ekonomi yang sedang melemah tidak dapat dipungkiri memicu kredit bermasalah, apalagi kualitas dari hasil analisa kredit yang tidak tepat menyebabkan NPL tinggi dan kondisi inipun telah terjadi di Bali.

Berdasarkan data OJK, persentase NPL secara gabungan di wilayah OJK KR 8 Bali-Nusra hingga April 2019 mencapai 3,05 persen. Hanya saja, NPL perbankan di Bali paling tinggi, yakni 3,86 persen hingga April 2019. Jauh di bawah NPL perbankan di NTT 2,50 persen, dan NTB hanya 1,74 persen pada  periode yang sama. Sektor lima besar penyumbang NPL terbesar adalah jasa perorangan yang melayani rumah tangga hingga 9,87 persen. Disusul kegiatan usaha yang belum jelas batasannya 8,82 persen. Kemudian konstruksi 6,24 persen. Transportasi, pergudangan dan komunikasi 5,67 persen, serta perdagangan besar dan eceran 5,11 persen. Indikator tersebut merupakan rasio keuangan pokok yang dapat memberikan informasi penilaian atas kondisi permodalan, rentabilitas, risiko kredit, risiko pasar dan likuidasi. NPL yang digunakan adalah NPL netto yaitu NPL yang telah disesuaikan. Penilaian kualitas aset merupakan penilaian terhadap kondisi aset bank dan kecukupan manajemen risiko kredit. “Ini artinya NPL merupakan indikasi adanya masalah dalam bank tersebut yang mana jika tidak segera mendapatkan solusi maka akan berdampak bahaya pada bank,” kata Komang Gede, Rabu (29/1) di kampus setempat.

Ia mengungkapkan, menurut Peraturan Bank Indonesia Nomor 6/10/PBI/2004 tanggal 12 April 2004 tentang Sistem Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Umum, menetapkan bahwa rasio kredit bermasalah (NPL) adalah sebesar 5 persen. Rumus perhitungan rasio NPL adalah total NPL dibagi total kredit dikalikan 100 persen. Faktor terjadinya NPL sangat beragam di antaranya kemauan atau iktikad baik debitur, kebijakan pemerintah dan Bank Indonesia serta kondisi perekonomian seperti saat ini. Faktor penyebab utama adalah penilaian karakter calon debitur. Hal inilah yang paling dominan mendasari munculnya kredit bermasalah selain dua faktor lainnya. Ini dapat dibuktikan jika terjadi permasalahan kondisi lainnya, namun jika memang karakter dari peminjam kredit tidak baik sudah dapat disimpulkan akan menjadi pemicu kredit bermasalah. “Hal inilah mendasari pentingnya analisis penilaian calon debitur kredit pada aspek karakter. Tentunya tanpa menyepelekan aspek lainya yang perlu dipandang penting untuk meningkatkan kualias analisa kredit untuk mencegah NPL,” katanya.

Ia menambahkan, analisa kredit merupakan kajian yang dilakukan untuk mengetahui kelayakan dari suatu permasalahan kredit. Melalui hasil analisa kreditnya, dapat diketahui apakah usaha nasabah layak (feasible), marketable (hasil usaha dapat dipasarkan) dan profitable (menguntungkan) serta dapat dilunasi tepat waktu. “Melakukan analisa kredit memang seperti meramalkan masa depan yang penuh ketidakpastian, karena mendeteksi watak seseorang dan memilih alternatif-alternatif.  Untuk dapat melakukan ini dibutuhkan peran SDM yang unggul dan mumpuni di bidangnya agar dapat menghasilkan analisa kredit yang tepat,” katanya.

Aspek penting yang sebaiknya digunakan oleh analis kredit dalam menilai kelayakan kredit sering disebut 5C+1P, yaitu character, tidak terindikasi memiliki niatan buruk, memiliki kemauan/tanggung jawab untuk membayar kredit sampai dengan lunas, jujur dan kooperatif. Tujuan penggunaan “objek kredit” jelas sesuai kebutuhan dan bukan untuk spekulasi. Kemudian capacity, memiliki penghasilan yang cukup dan stabil guna membayar angsuran per bulan sampai dengan kredit lunas/akhir tenor. Untuk wiraswasta harus memiliki kemampuan untuk mengelola usahanya. Capital yaitu memiliki dana cukup dalam mengantisipasi kondisi emergency, sebagai contoh anak masuk sekolah, istri melahirkan, sakit, dan lainnya. Untuk wiraswasta harus memiliki cukup aset dan modal untuk mendukung kelancaran usaha serta modal dalam menghadapi masa “sepi”. Colateral yaitu jaminan yang mencukupi untuk mengantisipasi jika terjadi tunggakan. Apakah unit yang dibiayai merupakan unit yang banyak peminatnya. “Penganalisaan ini diperlukan apabila konsumen secara finansial hampir tidak layak akan tetapi memiliki karakter yang baik, dan jaminan atau unit tersebut minimal senilai nominal pembiayaan,” katanya.

Ia menambahkan, selain itu ada condition yang merupakan faktor eksternal meliputi kestabilan dan kontinuitas tempat kerja dan bidang usaha yang ditekuni, prospek usaha yang baik, tidak bertentangan dengan peraturan pemerintah/undang-undang, dan kondisi ekonomi. “Condition juga dapat dinilai berdasarkan tempat tinggal yang masuk dalam kategori rawan tunggakan atau tidak, bisa disebut dengan daerah blacklist atau tidak. Terakhir adalah purpose, konsumen benar-benar membutuhkan objek kredit, kegunaan harus jelas, dan objek kredit harus memiliki nilai tambah secara ekonomis bagi konsumen. *pur