Kasus kematian babi secara mendadak membuat kalangan peternak menjadi resah. Kondisi itu membuat sejumlah peternak terpaksa menjual murah babinya untuk menghindari kerugian. Ada juga yang berhenti beternak babi dan beralih profesi pada sektor usaha lain. Bagaimana dampaknya pada Galungan yang jatuh pada 19 Februari mendatang?
WAKIL Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi (Gubi) Bali yang juga merupakan salah satu peternak babi di Kabupaten Tabanan, Nyoman Ariadi, Minggu (26/1) kemarin mengungkapkan, kasus babi mati secara mendadak membuat sejumlah peternak resah dan panik. Kematian mendadak babi diduga kuat disebabkan oleh demam babi atau virus African swine and fever (ASF) yang hingga saat ini belum ditemukan obat atau vaksinnya. Untuk menghindari kerugian dari kematian babi, sejumlah peternak ramai-ramai menjual dan beralih profesi dari usaha ternak babi saat ini.
“Kondisi tersebut memang berdampak pada turunnya populasi babi dan berpotensi harga babi di pasaran meroket, khususnya pada momen Galungan mendatang,” tuturnya.
Untuk tahu dampak yang ditimbulkan, apakah dari ketersediaan atau dari sisi kasus, menurutnya, masih belum bisa diketahui saat ini. Asumsinya, bila dampaknya dari sisi ketersediaan, maka itu akan membuat harga daging babi ini meroket pada momen Galungan, seiring dengan menurunnya jumlah populasi. Sebaliknya jika dilihat dari efek psikologis pasar karena dugaan dari serangan virus ASF ini membuat masyarakat enggan mengkonsumsi babi dan beralih ke daging lainnya, maka kondisi itu bisa jadi tidak akan berdampak besar pada harga jual babi.
Di sisi lain, diakuinya, maraknya kasus babi mati secara mendadak ini membuat sejumlah peternak berpikir dua kali untuk melakukan pengembangan usaha atau mengawali untuk usaha ternak babi. Buktinya permintaan bibit babi jauh menurun dari sebelumnya. Ariadi yang juga bergerak di bidang usaha penjualan bibit babi memaparkan, seminggu terakhir rata-rata permintaan bibit babi hanya 15 ekor. Jumlah tersebut jauh menurun dari sebelumnya yang rata-rata 25-50 per ekor per minggu.
“Saat ini bibit ini sudah menyentuh harga dasar, yakni Rp 650 ribu per ekor. Untuk babi siap potong berada di kisaran Rp 25.000 per kg,” ujarnya.
Menurunnya permintaan bibit babi ini, diakuinya, membuat dilema. Betapa tidak, kepemilikan bibit yang mencapai 100 ekor, jika tidak berputar atau laku terjual akan menjadi beban. Sebab, stok bibit yang banyak, mau tidak mau akan digemukkan untuk dijual sebagai babi siap potong. Namun kendalanya adalah untuk penggemukan babi ini membutuhkan biaya besar. Khususnya, menyangkut biaya pakan dan perawatan kandang yang tidak murah sekarang ini.
“Biaya pakan pasti akan membengkak. Begitu pula dengan biaya perawatan di tengah ancaman serangan virus ASF. Kami hanya bisa pasrah menyikapi kondisi ini dan berharap para pakar dari kalangan akademisi bisa secepatnya menemukan vaksin untuk penanggulangan kasus babi mati secara mendadak sekarang ini,” tandasnya.
Sementara itu, Kepala Bidang (Kabid) Peternakan dan Kesehatan Hewan Distan Tabanan, I Wayan Suamba mengungkapkan, hingga saat ini hasil sampel darah babi yang dikirim ke Medan belum keluar. Sembari menunggu hasil tes tersebut, pihaknya tengah melakukan pendataan terkait jumlah kasus kematian babi secara mendadak yang terjadi di Kabupaten Tabanan.
Jelas Suamba, dari pendataan tersebut, nantinya akan diusulkan mendapatkan bantuan disinfektan. Sebab diakuinya, saat ini dengan belum ada kepastian penyebab kasus babi mati mendadak ini, kini hanya dengan cara pembersihan kadang menggunakan disinfektan merupakan satu-satunya cara yang bisa dilakukan sebagai upaya pencegahan.
“Kami sudah minta ke provinsi untuk alokasi bantuan disinfektan, mengingat stok yang ada di kabupaten sudah habis disebarkan,” kilahnya.
Terkait pendataan ini, bila mengalami kasus kematian babi secara mendadak, peternak agar melaporkan ke dinas untuk didata. Pendataan ini sekaligus untuk mengetahui stok babi di Kabupaten Tabanan, khususnya dalam menghadapi momen Galungan nanti. *man