Denpasar (bisnisbali.com) –Pembangunan pertanian di Bali, masih memiliki potensi untuk dikembangkan. Terlebih lagi subak telah diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia yang seharusnya mampu meningkatkan pendapatan petani. Sayangnya, hingga kini petani di Bali masih dihadapkan pada pendapatan dan kesejahteraan yang belum memadai, sehingga dikhawatirkan pekerjaan pertanian di lahan sawah akan makin ditinggalkan.
Rektor Universitas Dwijendra, Dr. Ir. Gede Sedana, M.Sc., M.MA., Kamis (9/1) mengungkapkan, pembangunan pertanian di Bali khususnya pada lahan sawah sepenuhnya dikelola subak sebagai sistem irigasi tradisional. Subak merupakan suatu lembaga yang menjadi benteng atau penjaga budaya Bali melalui budaya bertani yang berlandaskan filosofi Tri Hita Karana.
Selama ini kenyataannya yang terjadi adalah sebagian besar pelaku usaha tani justru belum mendapatkan kesejahteraan yang memadai dari hasil usahanya.
”Belum lagi, petani dihadapkan dengan kebutuhan terhadap tanah atau lahan makin meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk yang makin meningkat pula, baik di perdesaan maupun di perkotaan,” katanya.
Tingginya kebutuhan lahan ini mendorong terjadinya persaingan pemanfaatan lahan yang memiliki potensi sosial dan ekonomi di kawasan tersebut, selanjutnya ikut memicu terjadinya alih fungsi lahan sawah. Dampaknya, berimbas pada berbagai hal di antaranya, turunnya produksi pangan yang menyebabkan terancamnya ketahanan pangan, hilangnya mata pencaharian petani dan dapat menimbulkan pengangguran, dan hilangnya investasi infrastruktur pertanian (irigasi) yang telah menelan biaya sangat tinggi.
“Makin menyempitnya lahan pertanian di Indonesia, maka makin sulit mengharapkan petani dapat berproduksi secara optimal. Lahan pertanian yang makin berkurang akibat menjadi pemukiman dan lahan industri, kini bahkan telah menjadi ancaman dan tantangan tersendiri bagi Pemprov Bali,” katanya.
Bercermin dari hal itu, kata Gede Sedana, diperlukan adanya upaya berbagai pihak, baik dari pemerintah maupun non-pertanian untuk bersama-sama dan bersinergi guna meningkatkan kesejahteraan para petani anggota subak. Saat ini kebijakan yang telah dilakukan pemerintah memang sudah memadai, seperti peningkatan produktivitas lahan dan tanaman, penyediaan subsidi, asuransi pertanian, irigasi, dan kebijakan lainnya.
“Kebijakan yang sudah memadai itu masih perlu dioptimalkan lagi, mengingat pengembangan subak juga membutuhkan rekayasa sosial dan teknologi dan dilakukan berbagai komponen atau stakeholder (pemerintah dan non-pemerintah),” katanya.
Terkait hal itu, kata Gede Sedana, salah satu upaya terobosan alternatif yang perlu diambil adalah membuat pemetaan atau mapping terhadap subak yang ada, menyangkut berbagai informasi baik sosial, teknis (pertanian dan irigasi) dan ekonomis subak. Teknologi yang dibutuhkan adalah dalam bentuk smart subak yang berbasis aplikasi.
Ia mengatakan, aplikasi ini sebenarnya akan menjadi bank data atau informasi yang akan sangat penting untuk pengambilan keputusan atau kebijakan secara langsung berkenaan pertanian dan kebijakan sektor non-pertanian yang memiliki tautan dengan pertanian. Informasi pada smart subak ini akan menjadi database yang memiliki manfaat untuk berbagai aspek pembangunan.
Data tersebut juga merupakan dasar untuk melakukan diagnosa dan analisis terhadap kondisi subak di Bali yang selanjutnya bermanfaat bagi berbagai pihak (pemerintah dan juga non-pemerintah) untuk menjadikan referensi atau dasar di dalam pengambilan kebijakan pembangunan yang berkenaan dengan pertanian termasuk non-pertanian.
“Berdasarkan data pada smart subak ini, pemerintah dan non-pemerintah dapat menyiapkan program, seperti penggunaan varietas, penentuan jenis tanaman, pola tanam, jadwal tanam, dan aspek teknis budi daya pertanian lainnya,” katanya.
Selain itu, melalui smart subak akan dapat direncanakan pengembangan industri hulu dan hilir yang cocok untuk dikembangkan di kawasan tertentu. Termasuk juga penyediaan berbagai subsidi yang bervariasi kepada subak untuk peningkatan kesejahteraannya, seperti subsidi input, subsidi ouput, subsidi pajak tanah (mengingat penetapan besaran pajak didasarkan pada NJOP), serta subsidi lainnya, misalnya kebutuhan keluarga petani anggota subak.
Hal senada juga diungkapkan Ketua DPD HKTI Provinsi Bali¸ Prof. Dr. Nyoman Suparta. Ia mengatakan, guna mendorong kesejahteraan petani, maka kelembagaan subak memiliki peran penting. Terkait itu, maka kelembagaan subak ini harus diperkuat, salah satunya dengan mengarahkan bantuan dari pemerintah yang dikelola agar efektif. Seperti, digunakan untuk bibit, dan pengelolaan lahan.
Ia mengatakan, hal sama juga diperkuat juga menyangkut luasan kepemilikan lahan sawah di Bali yang kian terbatas dan para pelaku atau petani yang jumlahnya kian menurun, sehingga itu jadi kendala juga dalam upaya untuk memperkuat kelembagaan subak di Bali yang saat ini ada sekitar 1.400 an subak lahan sawah, dan ada sekitar 1.200 subak tegalan.
Menurut Prof. Suparta, guna mensejahterakan petani di Bali, maka upaya lain yang harus dilakukan adalah meningkatkan juga pendapatan yang didapat petani dari hasil kerja. Hal ini dikarenakan, ada sejumlah variabel yang diperhatikan, yakni hasil produksi yang seharusnya diukur dengan produktivitas, pemasaran produksi harus diperpendek, kestabilan harga jual di pasaran, dan pemasaran produk petani Bali yang langsung menembus pasar hotel dan restoran.
“Saat ini petani di Bali beberapa memang sudah mengarah ke hal tersebut, yakni dengan menyesuaikan produksi dengan permintaan pasar. Namun, itu perlu terus diupayakan lagi,” katanya. *man