Denpasar (bisnisbali.com) –Selai natural berbahan dasar buah asli, menjadi produk UMKM kota Denpasar yang mendapat respons positif dari wisatawan dan ekspatriat yang datang ke Bali. Produk yang tergolong premium tersebut bahkan sudah dimintai pasar asing, hanya saja masih terkendala permodalan.
Pemilik Bali Taru Rahayu, Ni Wayan Susanti, yang memproduksi selai natural menuturkan, produk berbahan alami dewasa ini sangat disukai masyarakat dunia, khususnya mereka yang menjalankan gaya hidup sehat. Hal tersebut tampaknya yang berpengaruh terhadap penjualan selai natural berbahan buah alami.
Ia mengatakan, pihaknya mulai memproduksi selai buah pada pertengahan 2019. Berawal dari petani stroberi yang kewalahan memasarkan produknya. “Awalnya kami pasarkan produk stroberi frozen ternyata cukup laku kemudian karena panen sangat melimpah, kelebihan produksi kami coba mengembangkan selai untuk menjadi produk turunan,” katanya.
Selai ini ternyata juga mendapat respons positif dari pasar, khususnya para ekspatriat yang menyukai produk natural. “Dari sana kemudian kita kembangkan lagi jenis selai yang lain dengan menggunakan buah-buah lokal seperti mangga, durian, jeruk Kintamani dan lainnya. Jadi kita berupaya untuk membantu petani lokal khususnya saat panen raya, sehingga harga jual buah tidak terlalu anjlok,” katanya.
Lebih lanjut dikatakan, produk selai tersebut direspons positif oleh mereka yang memang menyukai produk natural meski dari segi harga memang tergolong premium. “Selai ini memang benar-benar produk premium, karena dibuat dari bahan alami yaitu dari buah asli dan gula tanpa bahan pengawet. Dengan menggunakan packaging dari kaca, maka selain menjadi steril dan daya tahannya lebih lama,” ungkapnya.
Meski tanpa bahan pengawet, produk selai ini bila kemasannya belum dibuka bisa bertahan selama 1 tahun dalam suhu ruang. Tapi jika kemasannya sudah dibuka harus masuk dalam kulkas.
Sebagai usaha mikro yang tergolong sangat belia, produk selai natural ini cukup diminati bahkan sudah mulai ada permintaan untuk ekspor. Namun, karena keterbatasan modal hingga saat ini hal tersebut belum dapat direalisasi.
“Untuk mengarah ke ekspor, kita butuh modal yang sangat besar. Sekarang kita berupaya optimalkan dulu pasar yang di lokal karena banyak juga yang mencari untuk oleh-oleh,” katanya.
Ia mencontohkan wisatawan Jepang sangat menyukai selai mangga dan pink guava. “Jadi banyak ekspatriat Jepang yang ada di Bali memberitahukan kepada kawan-kawannya sehingga kalau ada wisatawan Jepang ke Bali, saat kembali ke negaranya pasti mencari oleh-oleh selai mangga dan pink guava ini,” katanya.
Susanti mengatakan, saat ini pemasaran dilakukan secara online dan juga offline. Untuk offline itu di toko-toko organik dan beberapa supermarket yang memang customer-nya premium.
Sebagai usaha kecil yang tengah berkembang, dikatakan kendala yang dihadapi cukup banyak terutama dari segi packaging.
Ia mengatakan ingin masuk hotel, namun belum menemukan packaging yang pas. “Biasanya di hotel, selai yang dibutuhkan adalah yang dalam kemasan satu kali pakai (kemasan kecil) atau kemasan yang besar dalam ukuran 1 kg untuk buffet. Ini sangat sulit menemukan kemasan di Bali, kalaupun ada jumlahnya terbatas dan harganya mahal,” katanya.
Sementara harga jual selai, ukuran 145 gram Rp45 ribu, ukuran 220 gram harganya sekitar Rp 59 ribu ke atas. *pur