Saat ini sejumlah peternak di Bali tengah gelisah memikirkan kelangsungan usaha mereka. Betapa tidak, setelah penyakit meningitis streptococcus suis (MSS) yang sempat mengancam sektor peternakan di Bali beberapa waktu lalu, kini kembali kalangan peternak babi terancam dengan adanya virus African Swine Fever (ASF) atau flu babi Afrika. Apa dampaknya?
SELAIN sebagai penghasil sektor pertanian padi untuk menopang produksi nasional, Pulau Dewata juga memiliki sejumlah potensi untuk komoditi peternakan. Salah satunya, adalah babi. Babi produksi peternak lokal selain memiliki pangsa pasar untuk memenuhi kebutuhan di Bali, juga untuk memenuhi kebutuhan babi untuk pasar antarpulau.
Umumnya pengembangan peternakan babi terbagi atas peternakan on farm dan peternak kerakyatan, menyebar di kabupaten/kota di Bali selama ini. Salah satunya, di Kabupaten Tabanan yang populasinya, menurut data Dinas Pertanian Tabanan, dalam kurun waktu lima tahun terakhir mengalami fluktuasi. Tercermin pada 2014 populasi terbak babi terdata mencapai 94.357 ekor, kemudian pada 2015 meningkat menjadi 99.378 ekor. Sementara pada 2016 mengalami penurunan populasi ternak babi menjadi 96.836 ekor dan kembali turun pada 2017 menjadi 90.461 ekor. Pada 2018 populasi babi di Kabupaten Tabanan kembali naik menjadi 94.348 ekor.
Fluktuasi pengembangan babi di tingkat peternak ini, di antaranya dipengaruhi oleh harga jual, biaya produksi yang makin meningkat dan dampak dari ancaman sejumlah virus atau penyakit. Seperti saat ini yang sedang mengancam sektor peternakan babi di Bali adalah virus ASF atau flu babi Afrika.
Menanggapi ancaman virus ASF atau flu babi Afrika Wakil Ketua Gabungan Usaha Peternak Babi (Gubi) Bali, Nyoman Ariadi, mengungkapkan, saat ini harga jual babi di tingkat peternak sedikit mengalami penurunan, yakni Rp 1.000 per kg atau dari Rp 28.000 per kg menjadi Rp 27.000 per kg saat ini. Katanya, penurunan harga babi ini bukan sebagai dampak dari ancaman virus ASF, namun lebih disebabkan oleh populasi babi di tingkat peternak yang melebihi dibandingkan dengan permintaan pasar saat ini.
Jelas Ariadi, saat ini peternak tidak gelisah karena harga babi yang sedikit turun, namun lebih kepada ancaman ASF yang sudah terjangkit di sejumlah negara tetangga. Sebab, virus tersebut tidak berbahaya bagi manusia, tetapi mematikan untuk babi. Ironisnya lagi, sejauh ini belum ada vaksin yang dapat mencegah penularan virus tersebut sehingga hampir bisa dipastikan peternak hanya akan bisa pasrah jika virus tersebut menjangkiti babi mereka nantinya.
“Saat ini di Bali memang belum ada babi yang terjangkit virus ASF. Namun kemunculan virus tersebut tidak bisa diprediksi atau kapan pun bisa muncul,” tuturnya.
Sambungnya, terkait antisipasi, pihaknya telah mengadukan hal tersebut ke dinas terkait dan bahkan sudah berkali-kali diundang untuk melakukan pertemuan terkait hal tersebut, namun dinas terkait pun kebingungan untuk mencari solusi apabila virus tersebut terjangkit di Bali nantinya. Diakuinya, dinas hanya menyarankan para peternak babi ini untuk menjaga kesehatan ternak dan kebersihan kandang sebagai antisipasi virus ASF.
Sementara itu, sebagai gambaran untuk kasus di Asia, situs Antara menyebutkan, virus ASF pertama kali menjangkit Tiongkok lebih dari satu tahun yang lalu. Wabah tersebut kemudian meluas ke Kamboja, Vietnam, dan kini menyebar hingga ke Timor Leste.
Epidemiologi dari demam babi afrika cukup kompleks dan bervariasi. Hal ini bergantung pada kondisi lingkungan, keberadaan vektor, tingkah laku manusia, dan keberadaan babi liar. Alur transmisi dapat melalui beberapa cara, yaitu kontak langsung dengan babi yang terinfeksi oleh virus ASF. Selain itu, kontak tidak langsung melalui pengonsumsian daging atau produk daging olahan dari hewan yang terinfeksi, termasuk sisa bahan makanan, pakan, babi liar yang terinfeksi, dan pembuangan bangkai secara ilegal adalah penyebaran yang paling signifikan untuk penyakit ini. *man