Banyak wajib pajak (WP) hotel atau pun restoran belakangan ini menutup usaha di Karangasem. Penyebabnya, apalagi kalau bukan usahanya bangkrut dan tutup, karena sepi kunjungan wisatawan, sehingga pengusaha merugi dan memilih tutup. Apa yang mesti dilakukan Pemkab Karangasem?
LUMAYAN banyaknya WP hotel dan restoran tutup di Karangasem tahun ini, disampaikan langsung Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD), Made Sujana Erawan di depan rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi 3 dan 4 di DPRD Karangasem, beberapa hari lalu. Sujana Erawan yang sempat menjabat Plh. Sekda Karangasem itu dengan gamblang melaporkan, pada 2018 tercatat WP hotel di Kabupaten Karangasem total 492. Pada 2019 menjadi 524 dan sampai Oktober 2019 malah ada yang tutup 86 WP.
WP hotel pada 2019 yang aktif 438, dengan satu hotel bintang lima yakni Amankila, hotel bintang 4 sebanyak empat buah, bintang tiga, tiga usaha, bintang 2 dan satu masing-masing sebuah. Hotel melati 19 buah dan melati 2 dua buah. Restoran pada 2019 sebanyak 310 WP. WP restoran yang tutup pada tahun ini dilaporkan 63, WP rumah makan 193, warung makan 12, kafetaria yang buka 21 dan dilaporkan tutup enam. Sementara usaha katering 65. ‘’Semoga usaha warung makan nanti bertambah. Kami berharap tahun ini target PAD dari sektor pariwisata Rp 13,4 miliar tercapai. Dari target sebesar itu, kurang lagi Rp 800 juta,’’ ujar Sujana Erawan.
Sementara itu, Kepala Dinas Pariwisata Karangasem Ketut Sedana Merta pada RDP dengan dua komisi di DPRD Karangasem itu menyampaikan, pihaknya baru beberapa bulan ini menjabat Kadis Pariwisata di bumi Gunung Agung. Pada awal menjabat dia menemukan banyak benang merah dalam kaitan sektor pariwisata serta pemungutan retribusinya yang belum pas. Pihaknya tengah melakukan pembenahan, sehingga tak ada kesan belum apa-apa sudah memungut pajak atau retribusi. Baginya pendapatan regional domestik bruto (PDRB) yang harus ditingkatkan. Artinya, pendapatan masyarakat meningkat sehingga ketimpangan ekonomi atau pendapatan antara masyarakat tidak terlalu lebar.
Sedana Merta, mantan Kadis PUPR Karangasem itu mencontohkan, selama ini retribusi rekreasi dan olah raga pada rafting Telaga Waja, berupa retribusi, tetapi pemungutannya dititipkan pada pengusaha raftingnya. Jelas itu kurang tepat, kalau retribusi harusnya dipungut langsung petugas pungut Pemkab Karangasem, seperti halnya retribusi parkir yang dipungut langsung petugas parkir. Sementara, rafting di wilayah Ubud berupa pajak dan itu bisa self assesment atau pengusaha yang memungut pajaknya, melaporkan dan menyetor ke kas daerah. ‘’Untuk retribusi rafting di Sungai Telaga Waja, kami sejak beberapa hari lalu mengubah sistemnya. Kami menugaskan dua petugas pungut retribusi di tiap usaha rafting yang ada di sana,’’ paparnya.
Di lain pihak, Ketua Komisi 3 DPRD Karangasem Wayan Sunarta meminta agar eksekutif khususnya yang berkaitan dengan sektor pariwisata, agar pengelolaan objek wisata berjalan lebih baik. Kinerja harus ditingkatkan. Dalam rangka meningkatkan kunjungan wisata, tentunya promosi yang efektif dan efisien tetap harus dilakukan. Guna menghindari kebocoran pajak atau retribusi guna meningkatkan PAD atau mengejar target, hendaknya ditempuh sistem yang efektif. Dia mencontohkan di Pemkot Denpasar, dilakukan dengan menggandeng perbankan. Karangasem mestinya juga bisa dengan bekerja sama dengan pihak BPD Bali. Misalnya melengkapi dengan taping box atau mesin pencatat transaksi entah dengan sistem catat langsung atau dengan print dan dicek tiap bulan. ‘’Pajak dari vila atau rumah penduduk yang disewakan untuk wisatawan asing juga belum bisa dipungut, karena masih terbentur aturan yang belum ada,’’ paparnya.
Anggota DPRD Kadek Wesya Kusmia Dewi mengatakan, pentingnya regulasi atau aturan sebagai dasar untuk bekerja, apalagi melakukan pungutan pajak atau retribusi. ‘’Kalau memang aturan atau perda belum ada, mari dibuat. Kalau perdanya sudah ada, tetapi sudah tak sesuai dengan perkembangan, ajukan revisinya, sehingga eksekutif ada dasar yang kuat untuk meningkatkan kinerja,’’ tandas Dewi. *bud