Bukan ”Obrak-abrik” Pariwisata, Menparekraf Fokus Daya Saing  

Dunia pariwisata Bali kembali terusik. Kali ini, sentilan "wisata ramah Muslim" yang dilontarkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama dan Wakil Menteri Angela Tanoesoedibjo telah memantik reaksi dari berbagai kalangan di Bali,

333
PANTAI - Sejumlah wisatawan dari berbagai daerah dan negara sedang menikmati panorama pantai di Bali.

Dunia pariwisata Bali kembali terusik. Kali ini, sentilan “wisata ramah Muslim” yang dilontarkan oleh Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Wishnutama dan Wakil Menteri Angela Tanoesoedibjo telah memantik reaksi dari berbagai kalangan di Bali, termasuk pemerintah daerah. Entah benar adanya, atau sekadar ucapan yang keseleo, pada akhirnya Menparekraf dan wakilnya pun melakukan klarifikasi. Lantas?

TERLEPAS dari hal tersebut, Pemprov Bali melalui Wakil Gubernur Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau biasa disapa Cok Ace tetap mengeluarkan pernyataan tegas. Dalam pernyataan itu disebutkan pemerintah dan masyarakat telah sepakat menetapkan bahwa pariwisata yang dikembangkan di Bali adalah pariwisata budaya yang ditetapkan dengan Perda Bali No. 2 tahun 2012 tentang Kepariwisataan Budaya Bali. Kepariwisataan Budaya Bali yang dimaksud adalah kepariwisataan yang berlandaskan pada kebudayaan Bali yang dijiwai oleh ajaran agama Hindu dan falsafah Tri Hita Karana sebagai potensi utama dengan menggunakan kepariwisataan sebagai wahana aktualisasinya sehingga terwujud hubungan timbal balik yang dinamis antara kepariwisataan dan kebudayaan yang membuat keduanya berkembang secara sinergis, harmonis dan berkelanjutan untuk dapat memberikan kesejahteraan kepada masyarakat, serta kelestarian budaya dan lingkungan.

“Perkembangan pariwisata Bali dari tahun ke tahun sangat dipengaruhi oleh faktor keragaman budaya yang dimiliki masyarakat Bali. Oleh karena itu sangat tepat kiranya jika pariwisata Bali disebut sebagai pariwisata yang berbasis budaya atau sering disebut pariwisata budaya Bali. Adat, seni dan budaya Bali sebagai potensi dasar yang dominan di dalamnya tersirat satu cita-cita akan adanya hubungan timbal balik antara pariwisata dan kebudayaan,” kata Cok. Ace.

Pariwisata Bali yang demikian sudah berlangsung lama, sudah diterima dan mendatangkan wisatawan dari berbagai daerah di Indonesia dan berbagai negara di dunia, tanpa melihat agama dan latar belakangnya. Semua diterima sebagai wisatawan. “Sudah sejak ratusan tahun silam krama Bali tanpa memandang mereka pemeluk Buddha, Muslim atau Kristen. Jangankan wisatawan, semeton Muslim yang sudah ratusan tahun berinteraksi di Bali pun tidak ada diskriminasi, toleransi yang sangat indah,” sebutnya.

Kondisi pariwisata Bali selama ini sudah berjalan dengan baik dan semua wisatawan yang datang bisa terlayani dengan baik. Reputasi wisata Indonesia mulai meroket saat Conde Nast Traveller 2019 Timur Tengah memberikan award untuk Bali sebagai Favourite Adventure Destination bagi wisatawan asal Timur Tengah periode 2018/2019. “Pariwisata Bali tidak perlu diganggu gugat lagi, karena sudah berjalan dan dikelola dengan baik oleh masyarakat Bali. Raja Salman (Raja Arab Saudi) berlibur dan bahkan memperpanjang masa liburannya di Bali, dan tidak ada keluhan sama sekali. Jadi tidak elok jika ada pernyataan yang menunjukkan seakan-akan Bali tidak ramah terhadap wisatawan Muslim,” imbuh Cok. Ace.

Sementara Ketua PHRI Kabupaten Badung I Gusti Ngurah Rai Suryawijaya mengatakan akan lebih baik Kementerian Pariwisata, dalam hal ini Menparekraf fokus pada upaya pengembangan pariwisata ke depan, dan bukan mengobrak-abrik basis pariwisata yang sudah ada. Pariwisata Indonesia menonjolkan potensi yang ada, terutama kearifan lokal berupa keragaman budaya di daerah setempat. “Setiap daerah memiliki budaya yang menarik untuk dikunjungi. Potensi ini menjadi akar pariwisata,” kata Rai Suryawijaya.

Tak hanya itu, Ketua BPPD Badung ini menegaskan pariwisata Indonesia kini bersaing dengan negara Asia dan dunia. Menyikapi kondisi tersebut maka perlu dilakukan peningkatan daya saing dengan cara meningkatkan infrastruktur, budaya, keamanan, kenyamanan serta aksesibilitas transportasi udara. Upaya lainnya yang perlu digencarkan oleh kementerian adalah promosi ke luar negeri untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke Tanah Air. Selama ini upaya promosi dirasakan masih kurang. Promosi tidak lagi dilakukan secara konvensional tetapi dengan super extra ordinary bersama pelaku industri pariwisata dan stakeholders karena pengelolaan pariwisata harus dilakukan dengan kebersamaan. “Branding, advertising dan selling harus terus ditingkatkan. Jika tidak, kita akan kalah saing,” imbuhnya.

Kementerian Pariwisata juga perlu bersinergi dengan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), apalagi saat ini sudah menjadi satu di kementerian untuk melakukanexhibition serta menjalin bilateral relationship antara Indonesia dan negara-negata lainnya dalam hal pengembangan pariwisata.

Rai Suryawijaya mengutarakan ada empat pilar yang perlu diperhatikan secara serius oleh kementerian, yaitu destinasi, industri, pemasaran/marketing dan kelembagaan. Keempat pilar ini menjadi basic untuk melakukan suatu gebrakan guna meningkatkan kepariwisataan Indonesia. “Kami pun di bawah naungan Gubernur Bali sudah membentuk Tim Kelompok Kerja (Pokja) untuk menyusun Standar Penyelenggaraan Kepariwisataan, yang akan dipakai sebagai acuan untuk penyelenggaraan atau pengelolaan pariwisata Bali ke depan,” sebutnya.*dar