Selama beberapa tahun terakhir, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo sangat gencar dalam pembangunan infrastruktur. Tidak hanya dilakukan di Jakarta, pembangunan juga dilakukan di Bali. Apa saja yang dikebut di Bali?
SAAT ini yang sedang dikebut adalah pembangunan jalan baru BTS Singaraja-Mengwitani atau yang lebih dikenal dengan sebutan shorcut Singaraja-Mengwitani.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menargetkan pembangunan jalan pintas atau shortcut di ruas jalan Mengwitani-Singaraja yang berada di Kabupaten Buleleng dan Tabanan akan rampung pada Desember 2019.
Sepanjang jalan yang kini akan dibangun jalan baru adalah jalur wisata yang cukup padat. Oleh karena itu pembangunan shortcut ini juga menjadi salah satu upaya untuk peningkatan kunjungan dan pemerataan sektor pariwisata di Bali umumnya dan Bali Utara khususnya.
Sejauh ini setelah shortcut 3-4 dan 5-6 yang masih dalam tahap pengerjaan, kini juga sudah dimulai proses pembebasan lahan untuk pembangunan jalan baru batas kota Singaraja-Mengwitani titik 7, 8, 9 dan 10 yang mengambil lokasi di tiga desa di Kecamatan Sukasada di antaranya Desa Wanagiri, Desa Gitgit, dan Desa Pegayaman.
Pemprov Bali melalui Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (DPUPR) Provinsi Bali sudah menyiapkan anggaran pengerjaan proyek shortcut 7-10 ini Rp200 miliar. Hal tersebut diungkapkan Kepala DPUPR Provinsi Bali, Ir. I Nyoman Astawa Riadi, M.Si. saat ditemui di sela-sela pendataan awal masyarakat terdampak proyek shortcut titik 7-10 di Balai Banjar Pererenan Bunut, Desa Gitgit, Kecamatan Sukasada belum lama ini.
Astawa Riadi menjelaskan, dari awal DPUPR Bali memang diberikan tugas untuk pembebasan lahan shortcut titik 7-10. Pembiayaan pembebasan lahan sendiri dianggarkan dari APBD Provinsi Bali. Pembebasan lahan titik 7-10 diharapkan tuntas dibayar Desember 2019. Masyarakat yang terdampak pun diajak untuk menyukseskan program pemerintah ini. “Kita harapkan seluruh masyarakat yang terdampak bisa menerima apa yang menjadi program pemerintah ini,” jelasnya.
Untuk pembebasan lahan, sudah disiapkan anggaran Rp190 miliar. Untuk DPA di DPUPR total menjadi Rp200 miliar. Jumlah ini masih menjadi estimasi. Tergantung nanti dari tim appraisal berapa jumlah yang harus dibayarkan kepada masyarakat yang terdampak. Pemerintah tidak menentukan berapa harga dari lahan masyarakat. “Dari Rp200 miliar itu, bisa kurang bisa lebih. Nanti tim appraisal yang menentukan,” ujar Astawa Riadi.
Dari pendataan awal yang dilakukan tim persiapan pembebasan lahan, tercatat ada 145 orang yang lahannya terdampak pembangunan shortcut ini. Jumlah tersebut tersebar di tiga desa yaitu Desa Wanagiri, Desa Gitgit, dan Desa Pegayaman. Lahan yang terdampak diestimasikan mencapai 31,41 hektar.
Sementara itu, anggota Tim Pembebasan Lahan yang juga Kepala Bagian Pemerintahan, Biro Pemerintahan dan Otonomi Daerah Setda Provinsi Bali, Dewa Made Ardana menyebutkan, jumlah 145 orang tersebut bisa saja berkembang karena trase jalan baru bisa saja berubah.
Pendataan awal ini merupakan gerakan pertama untuk menuju ke konsultasi publik. Data riil akan didapat dari pendataan awal sehingga bisa berlanjut ke konsultasi publik. “Nanti saat konsultasi publik yang rencananya digelar tanggal 5 November 2019, kita akan undang tiga desa ini, warga yang terdampak dan tokoh masyarakat,” ujarnya.
Dia menambahkan, acuan penentuan lokasi (penlok) bisa dikeluarkan setelah masyarakat sepakat pada saat konsultasi publik. Ini dikarenakan output dari konsultasi publik adalah berita acara sebagai dasar penerbitan penlok. Segala keberatan dan masukan akan muncul di berita acara tersebut. “Sesuai dengan aturan yang ada, apabila ada keberatan, masih ada waktu dan diberikan kesempatan,” pungkas Dewa Made Ardana. *ira