Denpasar (bisnisbali.com) –Konsumsi beras di Bali saat ini 98,5 kg per kapita per tahun. Konsumsi ini menurut Kepala Dinas Ketahanan Pangan Provinsi Bali, Ir. I Wayan Jarta, M.M., masih tinggi sehingga dilakukan upaya untuk menekan konsumsi beras dengan menggalakkan pangan nonberas.
Jarta mengatakan, upaya menekan konsumsi beras tersebut dengan target pada 2023 kondisi beras menjadi 85 kg per kapita per tahun. “Artinya memang konsumsi beras di Bali ini dalam kategori cukup tinggi dan kita ingin mengurangi itu karena banyak hal yang bisa terjadi. Banyak penyakit yang bisa tumbuh kembang kelebihan konsumsi beras, bisa diabetes, obesitas dan lainnya,” tuturnya.
Untuk itu ditawarkan produk pangan berbahan dasar lainnya sebagai substitusi. “Banyak olahan pangan yang lebih sehat untuk dikonsumsi selain beras. Memang kita proritaskan yang non beras, produk ini akan diperkenalkan kepada masyarakat melalui pameran- pameran yang akan dilaksanakan oleh masing-masing kabupaten/kota yang lebih banyak diarahkan untuk menyajikan produk – produk pangan yang bersumber nonberas,” tandasnya.
Selain itu kegiatan diversifikasi pangan akan mengajak kabupaten/kota untuk berinovasi mengolah sumber-sumber makanan nonberas sebagai makanan produk unggulan. “Dengan mereka mengkonsumsi nonberas sumber sumber penyakit yang lain akibat over karbohidrat dan gula bisa kita kurangi,” tukasnya.
Di Bali banyak mempunyai sumber-sumber pangan yang bisa diolah menjadi pangan yang berkualitas tinggi. Seperti sukun, ketela dan lainnya. “Sekarang kita fokus untuk mengembangkan potensi yang kita miliki. Seperti ubi kayu kita olah menjadi berbagai produk intermediate yang nanti betul-betul menjadi sumber pangan yang diminati,” ungkapnya. Karena saat ini ubi kayu sudah diolah menjadi tepung mocaf yang sangat bermanfaat bagi kesehatan.
Oleh masyarakat di desa Mukti kabupaten Buleleng, tepung mocaf tersebut sudah diolah menjadi beras analog dan berbagai kuliner seperti mi, kue kering dan bolu dan sebagainya.*pur