Denpasar (bisnisbali.com) –Suku bunga acuan Bank Indonesia atau BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7 DRR) kembali melorot 25 basis poin menjadi 5 persen. Penurunan bungan acuan BI ini diharapkan bisa terwujudnya bunga kredit perbankan yang murah.
“Yang diharapkan bunga kredit menjadi murah atau turun sehingga roda ekonomi bergerak lebih kencang,” kata pengamat ekonomi Prof. Gde Sri Darma, DBA., di Sanur, Jumat (25/10) kemarin.
Menurutnya, dengan melorotnya kembali BI 7DRR menjadi 5 persen akan segera terwujud kredit single digit atau di bawah 10 persen. Tentunya imbasnya bunga dana pihak ketiga seperti deposito maupun tabungan akan mengalami penurunan juga. Besaran bunga deposito tergantung besarnya dana nasabah.
“Makin besar dana nasabah, makin besar juga peluang untuk mendapatkan bunga. Tabungan juga demikian,” ujarnya.
Ia pun menilai makin mendekati nol persen, bunga deposito akan lebih baik. Kenapa lebih baik? Kata Sri Darma agar uang yang ada bukan disimpan melainkan digerakkan atau diputar untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Oleh karenanya, ia berharap dengan adanya kebijakan DGBI menurunkan bunga acuan perbankan harus segera merealisasikan lewat penurunan suku bunga kredit. Perbankan mesti berpihak kepada rakyat, termasuk di dalamnya pelaku usaha UMKM.
Sri Darma menilai, pelaku usaha di dalam negeri menaruh optimisme terhadap para menteri yang duduk di Kabinet Indonesia Maju periode 2019-2024, termasuk Menko Perekonomian yang baru Airlangga Hartarto.
“Market berpandangan sangat positif terhadap Kabinet Indonesia Maju,” imbuhnya.
Ia pun berharap dengan pelantikan para menteri ke depannya bisa membawa ekonomi lebih maju dan meningkatkan bisnis digital agar Indonesia tidak kalah dengan negara lain.
Seperti diketahui Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 23-24 Oktober 2019 memutuskan untuk menurunkan suku bunga acuan, BI 7 DRR 25 basis poin (bps) atau 0,25 persen menjadi 5 persen. Relaksasi tersebut diikuti penurunan suku bunga deposit facility dan lending facility masing-masing 25 bps menjadi 4,25 persen dan 5,75 persen.
Kebijakan tersebut didasarkan pada perkiraan inflasi yang terkendali dan imbal hasil investasi keuangan domestik yang tetap menarik. Selain itu, langkah tersebut sebagai preemptive lanjutan untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kondisi ekonomi global yang melambat. *dik