Denpasar (bisnisbali.com) –Kegiatan transshipment (alih muatan) di tengah laut yang tidak lagi diizinkan membuat biaya operasional ekspor tuna menjadi cukup tinggi. Hal ini juga berpengaruh terhadap nilai ekspor tuna menurun pada tahun ini.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Bali, ekspor komoditi ikan dan udang mengalami penurunan pada Agustus 2019 yaitu -17,77 persen (yoy). Namun secara mtm, mengalami peningkatan 28,20 persen dengan nilai ekspor 9,6 juta dolar AS.
Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali Ir. I Made Sudarsana, M.Si. saat ditemui Rabu (16/10) kemarin mengatakan, dengan dilarangnya transshipment di tengah laut, membuat nelayan harus bolak balik berlayar saat melakukan tangkapan. Hal ini menjadi tidak efisien dari segi operasional, sehingga berpengaruh terhadap ekspor yang menurun. Dilarangnya transshipment, karena adanya kekhawatiran akan adanya transaksi di tengah laut.
Namun, Sudarsana mengatakan hal itu tidak serta merta penyebab ekspor menurun. Masih ada faktor lain yang mempengaruhi. Seperti permintaan buyer karena penurunan ini juga tidak lepas dari pengaruh permintaan komoditas ikan dan udang. Dikatakannya, dari sisi produktivitas perikanan dan penanganan ikan di Bali dikatakan stabil. “Kalau tuna yang agak susah kita dapatkan, tetapi cuminya yang meningkat,” ungkapnya
Sebagai alternatif komoditi ekspor, cumi-cumi menjadi komoditi tambahan yang mampu mendongkrak ekspor. Untuk efisiensi saat berlayar, penangkapan berikutnya selain tuna bisa cumi. Hal ini untuk mendongkrak biaya operasional perusahaan itu. Triwulan I 2019, ekspor cumi meningkat yaitu mencapai 4.559,9 ton dengan nilai 19,4 juta dolar AS. Negara tujuan ekspor cumi yaitu Cina dan Taiwan, sementara tujuan ekspor tuna yaitu Jepang, Australia dan AS. *wid