BERBAGAI kasus radikalisme dan terorisme terus menghantui Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kampus sebagai komunitas akademis, harus tetap waspada terhadap perkembangan dan penyebaran paham radikalisme tersebut.
Menurut Pengarah dan Koordinator Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme 2017 dan 2018, Dr. Ida Bagus Radendra Suastama, S.H., M.H., radikalisme pada hakikatnya adalah paham atau pemikiran atau ajaran yang mengajarkan atau menghalalkan kekerasan untuk mencapai tujuan. Radikalisme juga sering mengajarkan kebencian dan permusuhan terhadap pihak yang dianggap sebagai lawan.
Ia mengatakan, radikalisme yang berkembang pesat dewasa ini adalah radikalisme yang menggunakan atau tepatnya menyalahgunakan agama sebagai alat untuk memikat orang agar menganut ajaran atau paham mereka. Mereka sesungguhnya tidak menjalankan ajaran agama (karena mereka menganut ajaran kebencian dan kekerasan), tetapi mereka mengklaim diri seolah-olah paling beragama. Anehnya mereka menganggap bahwa berbuat kekerasan itu adalah perintah agama. Kesesatan berpikir inilah yang harus diwaspadai.
“Pola masuknya pemikiran radikalisme ke kampus-kampus melalui unit-unit kegiatan berkedok keagamaan padahal berniat menyebarkan radikalisme juga perlu dicermati agar tidak disalahgunakan pihak-pihak penganut radikalisme,” kata Radendra.
Lebih jauh dikatakan, beragama dan menganut paham radikal adalah dua hal yang jelas-jelas berbeda. Menekuni agama dari sumber atau pembimbing yang salah atau kurang tepat, dapat bermuara pada penganutan paham radikal secara tidak disadari. “Selama ini radikalisme terus berusaha menggunakan agama sebagai justifikasi atau pembenaran, dan sampai kini mereka pun terus berupaya agar bisa menggunakan justifikasi ilmiah atau saintifik melalui penyebaran paham mereka di kampus-kampus di Indonesia sebagai pusat-pusat keilmuan,” tandasnya.
Akademisi yang juga advokat ini mengatakan, salah satu cara sederhana memahami potensi radikalisme di kampus adalah mengamati kecenderungan penggunaan kekerasan atau penyemaian bibit kebencian antar-keyakinan dan diskriminasi sikap dalam keseharian. Penggunaan kekerasan, kebencian, merasa benar sendiri adalah bagian cara berpikir radikalisme. Dan radikalisme harus dilawan. Melawan meliputi mencegah, memantau, menolak, sampai dengan melaporkan atau membantu aparat memberantas radikalisme. “Kita tidak melawan dengan kekerasan, tetapi dengan kecerdasan dan keilmuan sebagai ciri masyarakat ilmiah,” ujar Ketua Yayasan Handayani ini.
Kemurnian idealisme mahasiswa dikatakan, sebagai komunitas jangan sampai dipolitisasi penumpang gelap yang ingin buat kekacauan dengan memanfaatkan kerumunan massa. Sebab dalam ilmu psikologi massa disebutkan bahwa kerumunan massa, apalagi berjumlah besar, sangat mudah dan rawan diinfiltrasi dan diprovokasi. *pur