Denpasar (bisnisbali.com) – Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 21 tahun 2015, terkait minyak curah yang tidak dapat dijual secara bebas di pasaran dan minyak goreng yang beredar di pasaran harus dikemas. Per 1 Januari 2020 kebijakan tersebut sepenuhnya sudah harus berjalan, karena sudah diberikan waktu cukup panjang sejak 2015 untuk mempersiapkannya.
Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Bali, Putu Astawa mengatakan, Permendag RI No. 21 tahun 2015, tersebut adalah untuk melindungi konsumen. “Minyak curah dari segi higienis dikhawatirkan bisa dioplos. Sekarang banyak sekali jenis minyak goreng bekas. Kalau itu dicampur dengan minyak goreng curah, kan bisa membahayakan masyarakat, itu sebenarnya filosofinya,” tutur Astawa, Sabtu (12/10) di Renon Denpasar.
Meski demikian karena ada resistensi dari pelaku industri dan masyarakat Permendag tidak serta-merta diberlakukan. Jadi dilakukan secara bertahap dan secara bijak, tidak dengan menarik semua minyak goreng curah dari pasaran. Pemberlakuan ditunda dan 2020 ini baru diberlakukan.
“Peran dari pabrikanlah yang harus bertanggung jawab untuk mengemas minyak goreng curah ini. Harapan ke depan minyak goreng yang tersedia bukan minyak goreng curah lagi, tetapi yang sudah dalam kemasan,” tandasnya.
Kebijakan tersebut dinilai sangat baik untuk melindungi konsumen, namun persoalannya di Bali adalah pemerintah tengah mengurangi penggunaan plastik sekali pakai. “Cuma persoalannya untuk dikemas pasti menggunakan plastik lagi, padahal kita sedang mengurangi penggunaan plastik. Harapan kami plastik yang digunakan mengemas itu adalah plastik ramah lingkungan. Kan sekarang ada juga teknologi untuk membuat plastik ramah lingkungan dari nabati seperti singkong, sehingga lebih ramah lingkungan,” ucapnya. Karena untuk menolkan sekali penggunaan plastik itu sangat sudah.
Lebih lanjut dikatakan untuk agen distributor minyak curah ada di Benoa. “Minyak itu didatangkan dari luar Bali, kemudian ditampung dalam tangki- tangki . Dari situ baru didistribusikan ke pengecer- pengecer,” tukasnya.
Sementara untuk di Bali karena tidak ada produksi kelapa sawit, maka tidak ada industri minyak curah. “Masyarakat kita hanya bisa memproduksi minyak kelapa, itu pun dalam skala industri rumah tangga. Jadi untuk kemasannya menggunakan botol,” ucapnya.
Untuk di Denpasar dikatakan tidak terlalu banyak masyarakat yang membeli minyak curah. Karena masyarakat pada umumnya hanya menggunakan minyak sedikit. Minyak curah lebih banyak dibeli penjual gorengan dengan skala penggunaan minyak lebih banyak, sehingga akan lebih murah membeli minyak curah. Tetapi di desa-desa masih ada yang menjual minyak curah dalam plastik-plastik kecil. “Penggunaan minyak curah di Bali sekitar 5 ribu ton per bulan,” katanya memungkasi. *pur