UPAYA Pemprov Bali dalam melindungi sejumlah tari sakral mendapatkan dukungan dari budayawan, Dr. Drs. AA Gde Raka, M.Si.
Ia mengatakan, berbicara pemanfaatan seni tari, peran desa (ruang), kala (waktu) dan patra (keadaan) sangat penting untuk diapresiasi.
Karenanya, pemanfaatan seni tari baik untuk upacara keagamaan (sakral) maupun untuk hiburan (profan) tidak terlepas dari ketiga aspek tersebut. Pemanfaatan seni sakral yang dalam hal ini seni tari, sangat terikat oleh desa, kala, dan patra. “Desa, dipentaskan di areal tempat suci, seperti pura atau tempat lainnya yang telah diupacarai. Kala, dipentaskan berkaitan dengan waktu pelaksanaan upacara keagamaan, baik pagi, siang, atau malam, dan patra, artinya karena terikat upacara keagamaan, maka harus dipentaskan walaupun dalam keadaan panas, hujan, maupun dingin,” katanya.
Namun, tari profan atau hiburan pementasannya terbebas dari ruang, waktu, dan keadaan. Artinya, dapat dipentaskan di mana saja, kapan saja, dan karena tidak terikat oleh ruang dan waktu upacara keagamaan, sehingga dapat pula dipentaskan atau tidak,” katanya.
Lebih lanjut dijelaskan, bahwa sakral adalah sesuatu yang keramat dan bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan. Sementara profan adalah sesuatu yang tidak dikeramatkan dan bersangkutan dengan tujuan keagamaan, dan/atau tidak bersangkutan dengan tujuan keagamaan. “Dalam konteksnya dengan kebudayaan Bali khususnya seni tari, bahwa sakral dan profan sangat urgen untuk dipahami. Selain pemahaman terhadap konsepnya, namun yang lebih penting pemahaman dalam pemanfaatannya,” katanya.
Konsep ruang, waktu, dan keadaan dalam setiap beraktivitas seni sangat fleksibel, sehingga keberadaan seni tari sakral tetap hidup dan ajeg sejak masa silam sampai sekarang. “Patut diingat, bahwa roh atau spirit budaya Bali adalah agama Hindu. Desa, kala, dan patra merupakan salah satu konsep dari sekian banyak konsep yang ada dalam agama Hindu,” katanya.
Dapat dikatakan, bahwa setiap aktivitas menurut ajaran agama Hindu hendaknya memperhatikan ketiga aspek tersebut. Termasuk dalam hal berkesenian, bahwa keterikatan dan kebebasan terhadap ketiga aspek tersebut sangat menentukan status dari jenis kesenian yang ada di Bali, apakah berstatus sakral atau profan.
Selain ruang, waktu, dan keadaan, kata Gung Raka, aspek ritual (upacara) juga dapat membedakan status dari seni tari sakral dan profan. Aspek-aspek lainnya, seperti kostum (busana), gerak, tandang, tangkep, dan lain-lain dapat pula membedakan antara seni tari sakral dan seni tari profan. Niscaya seni tari sakral lebih bersifat sederhana dalam semua aspek dimaksud bila dibandingkan dengan seni profan. Demikian pula dalam penentuan penari, seni tari sakral tidak perlu selektivitas, seperti pada seni tari profan. “Pendek kata bahwa dari aspek tri pramana (ruang, waktu, keadaan-red), aspek upacara atau ritual, busana, gerak tari, dan para penari, tentu sangat membedakan antara tari upacara keagamaan atau sakral dengan tari hiburan atau profan,” katanya. *pur