Garam tradisional yang diproduksi secara organik di Karangasem, potensial diekspor lebih banyak. Selama ini garam yang kualitas dan keunikannya dinilai terbaik di dunia, sudah diekspor ke Jepang dan diserap beberapa usaha spa di Negeri Matahari Terbit itu. Namun sayangnya, lahan penggaraman rakyat di Amed, Karangasem, kian terdesak perhotelan. Apa yang terjadi?
GARAM produksi tradisional di Amed, Desa Purwakerti, Abang, Karangasem, cukup terkenal. Terlebih, tradisi penggaraman di tengah desakan akomodasi pariwisata atau perhotelan di tepi pantai yang kini menjadi objek wisata itu, sudah cukup lama dipromosikan berbagai pihak. Arealnya yang kini tinggal di satu himpitan hotel, menjadikannya mendapat perhatian kalangan LSM dan peneliti asing. Guna menghindari pemalsuan garam Amed, akibat produksi terbatas dan kini terkenal dan tentunya permintaan akan lebih luas, masyarakat perlindungan indikasi geografis, mendaftarkan garam Amed ke Dirjen Kekayaan Intelektual Kemenhumkam dnegan nomor sertifikat ID G000000038 per 23 Desember 2015.
Garam Amed, kata Perbekel Desa Purwakerti Nengah Karyawan, ditemukan sebagai produksi garam tradisional terbaik di dunia. Hal itu dari penilaian ahli garam dunia asal Prancis Mr. Charles Perraud yang datang dan meneliti ke Amed pada 2015. Karena itu, kata Waty Suhadi dari Sahabat Cipta Jakarta, garam produksi petani Amed itu potensial diproduksi lebih banyak, dan dipromosikan untuk ekspor ke negara yang lebih banyak. Memang sudah ada diekspor guna memenuhi permintaan usaha spa di Jepang. Namun tentunya agar petani lebih bersemangat melestarikan dan memproduksi garam yang unik itu, berbagai pihak mesti membantu petani menemukan konsumen yang lebih luas di dunia. ‘’Kebutuhan konsumen seperti apa di dunia, ini yang perlu kita cari dan pertemukan antara produsen di Karangasem, dengan konsumen di dunia,’’ ujar Waty, yang sudah sekitar enam bulan ini tinggal di Amed, mendampingi petani garam.
Nengah Karyawan mengakui, akibat terdesak hotel, sejak 1990-an, lahan penggaraman terus menurun di desanya. Dulu sepanjang pantai Amed merupakan lahan penggaraman. Ketika harga lahan di pantai melambung akibat dilirik investor akomodasi pariwisata, pemilik lahan atau petani tergiur menjual lahannya. Lahan itu dikuasai orang luar Bali, termasuk dari Jakarta yang kini tengah membangun hotel di sebelah lahan penggaraman rakyat yang tinggal bertahan sekitar 10 are. Dengan rendahnya harga garam tradisional dikalahkan harga garam impor atau garam industri, tak hanya di Amed, petani garam di desa-desa lainnya di sepanjang pantai di Karangasem, juga berhenti berproduksi. Lahan penggaraman yang belum terjual, alat penggaramannya ditumpuk dan lapuk dimakan usia dan rayap.
Waty Suhadi mengatakan, dulu petani garam di Amed, sempat merosot sampai tinggal 16 orang dari ratusan. Namun, berkat promosi, pendampingan dari berbagai pihak dan terbukti sudah ada diekspor guna memenuhi usaha spa di Jepang, petani tertarik kembali. Setelah tinggal 16 orang, tambah Perbekel Nengah Karyawan, kini bertambah menjadi 36 orang. Selain lahan di sebelah wantilan tirta wisata Jemeluk, Amed, juga lahannya berkembang. Lahan kosong yang dulu digunakan parkir hotel, kini juga dipakai tempat penggaraman di timur Amed. ‘’Ini menunjukkan warga mulai tertarik. Selain untuk produksi, juga dipakai daya tarik hotel untuk penggaraman tradisional,’’ papar Waty.
Guna melestarikan lahan penggaraman di Amed yang potensial menjadi daya tarik wisata, serta potensial mensejahterakan masyarakat di Karangasem, kata Ketua DPRD Karangasem I Gede Dana, di depan ratusan saat festival garam Amed beberapa hari lalu di Amed itu, selain mendampingi dan memotivasi warga petani garam untuk meningkatkan kualitas produksi, tentunya lahan penggaraman itu perlu dilindungi. Festival harus dibarengi dengan kebijakan Pemkab Karangasem. ‘’Kalau cuma festival, tanpa ada kebijakan membantu melindungi lahan penggaraman rakyat, tradional dan unik itu, tidak akan cukup. Promosi ke luar negeri perlu terus diperluas. Di samping perlunya ada kebijakan misalnya, semua perhotelan atau restoran minimal di Karangasem wajib menggunakan garam produksi masyarakat lokal,’’ papar tokoh masyarakat Abang dari Desa Datah itu.
Di lain pihak, Bupati Karangasem IGA Mas mengatakan, ke depan karena petani sudah tidak mungkin menjangkau dengan membeli lahan di pantai yang harganya sudah lebih dari Rp 350 juta per are, bisa melirik lahan penggaraman lebih ke darat. Di selatan jalan yang belum dibanguni hotel, dan lahannya kurang produktif bisa dijadikan lahan penggaraman.
Sementara Waty Suhadi menambahkan, membuat garam tradisional Amed lebih ke darat di selatan jalan, juga sudah dicoba. Air laut ditarik dengan pemompaan dengan lahan dilapisi dom plastik. Hasilnya sementara diketahui tidak jauh berbeda dengan yang dibuat di lahan dengan dasar tanah di tepi pantai. ‘’Nanti akan dicoba lagi. Kalau hasilnya tetap bagus, unik serupa yang dibuah di lahan tepi pantai, tentu ini menjadi pilihan potensial untuk memperluas lahan penggaraman itu lagi,’’ paparnya.
Menurutnya, sudah ada nilai tambah, dari petani garam. Dulu per kg garam Amed, merosot dan terbagus terjual Rp 4 ribu per kg, kini sudah laku Rp 15 ribu per kg. ‘’Tentunya kalau untuk ekspor, dikemas lebih unik dan menarik, agar bisa terjual lebih mahal,’’ tandasnya. *bud/editor rahadi