Denpasar (bisnisbali.com) –Dalam sebuah perjanjian pemberian kredit, biasanya dilengkapi dengan surat perjanjian mengenai pengikatan agunan atau jaminan kredit. Perjanjian pengikatan kredit mengamankan posisi bank perkreditan rakyat (BPR) dari debitur nakal.
Praktisi perbankan, Made Hendra Kusuma, Jumat (4/10) mengatakan, perjanjian pengikatan agunan/jaminan ini merupakan perjanjian tambahan, sedangkan perjanjian pemberian kreditnya merupakan perjanjian pokok. Perjanjian pengikatan agunan ini berbeda-beda sesuai dengan jenis agunan kreditnya.
Ia menjelaskan, untuk agunan berupa hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, pengikatan agunannya dilakukan dengan pemberian hak tanggungan dengan menandatangani Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang berwenang. Hal ini mengacu kepada UU Nomor 4/1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah (sering disingkat dengan UUHT). Hak tanggungan ini memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain (Pasal 1 angka 1 UUHT).
Apabila debitur cedera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut (Pasal 6 UUHT).
Lebih lanjut dikatakannya, untuk agunan berupa benda-benda bergerak, seperti kendaraan, mesin-mesin, dan barang-barang bergerak lainnya, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang tetap berada dalam penguasaan pemilik jaminan. Pengikatan agunan barang bergerak ini dilakukan dengan penyerahan hak milik secara kepercayaan (fidusia), dengan berpedoman kepada UU Nomor 42/1999 tentang jaminan fidusia.
Pengikatan jaminan fidusia ini dilakukan di hadapan notaris, dengan menandatangani akta jaminan fidusia. Dalam pengertian ini, termasuk pula objek jaminan fidusia adalah benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 4/1996 tentang Hak Tanggungan.
Jaminan fidusia inipun memberikan kedudukan preferent kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya (Pasal 1 angka 2 UU No. 42/1999). Apabila debitur cedera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi objek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri (Pasal 15 ayat (3) UU No. 42/1999).
Untuk agunan benda-benda bergerak yang diserahkan penguasaannya oleh debitur atau oleh orang lain atas namanya, ke dalam penguasaan kreditur, pengikatan jaminannya dilakukan dengan gadai, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1150 Kitab UU Hukum Perdata (KUHPer). Bentuk jaminan inipun memberikan hak yang diutamakan (preferent) kepada kreditur terhadap kreditur lainnya.
Pengikatan agunan/jaminan dengan gadai ini dapat dilakukan dengan akta otentik yang dibuat di hadapan notaris atau dengan surat di bawah tangan (Pasal 1151 KUHPer). Apabila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, kreditur tidak boleh memiliki benda yang dijaminkan dengan gadai itu. Segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal (Pasal 1154 KUHPer).
Sementara untuk agunan/jaminan yang berupa kapal laut dengan berat bruto paling sedikit 20 m3 (dua puluh meter kubik), pengikatan agunannya dilakukan dengan pembebanan hipotek, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 314 Kitab UU Hukum Dagang jo Pasal 1 angka 12 dan Pasal 60 Pasal 64 UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Hipotek kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur lain.
Hendra Kusuma menambahkan, pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal (Pasal 60 ayat (2) UU No. 17/2008). Untuk setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek. Grosse Akta Hipotek mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap (Pasal 60 ayat (3) dan (4) UU No. 17/2008). *kup