Dana Mengendap LPD Capai Rp4 Triliun, Ini Strategi yang harus Dilakukan

355
LPD – Layanan transaksi di salah satu LPD di Gianyar.

Persaingan lembaga keuangan saat ini kian ketat di tengah lesunya perekonomian yang terjadi. Terlebih Lembaga Perkreditan Desa (LPD) yang merupakan lembaga keuangan milik desa adat, harus memulai berbagai strategi untuk dapat terus bersaing, khususnya dalam penyaluran kredit yang menjadi sumber pendapatan. Apa yang terjadi?


SAAT ini penyaluran kredit oleh LPD menjadi sebuah persoalan yang cukup sulit. Banyak faktor yang mempengaruhi, seperti persaingan dengan perbankan dengan produk Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang menjangkau ke pelosok, lesunya perekonomian yang membuat penyaluran kredit sangat menggunakan prinsip kehati-hatian serta berbagai faktor lainnya.

Lembaga Pemberdayaan (LP) LPD Provinsi Bali mencatat hingga Agustus 2019 jumlah dana pihak ketiga (DPK) yang mampu dihimpun oleh seluruh LPD di Bali mencapai Rp19,4 triliun. Sementara jumlah dana (kredit) yang tersalurkan tercatat hanya Rp15,4 triliun. Ini artinya ada Rp 4 triliun dana mengendap di LPD. Penyaluran kredit tentunya harus lebih digencarkan, untuk meningkatkan pendapatan LPD.  Tercatat laba berjalan yang telah dikumpulkan oleh 1.433 LPD di Bali hingga Agustus 2019 hanya Rp427 miliar.

Ketua LP-LPD Provinsi Bali I Nengah Karma Yasa mengatakan, DPK yang dimiliki LPD memang senatiasa meningkat setiap tahunnya. Terkait permasalahan kredit, bukan semata minim peminat di LPD, situasi perekonomian yang masih lesu ini membuat LPD sangat berhati-hati dalam penyaluran kreditnya. Hal ini dilakukan guna menghindari terjadinya kredit bermasalah yang dapat  berpengaruh kepada perkembangan LPD selanjutnya. LPD lebih memilih menempatkan dananya pada perbankan, terutama BPD Bali yang diharapkan menjadi rekanan oleh LPD dengan bunga lebih rendah dari suku bunga yang dibeli dari masyarakat.

Persaingan dengan perbankan, menurut Karma Yasa, juga menjadi permasalahan yang dihadapi oleh LPD. Perbankan dengan program KUR yang memberikan bunga jauh lebih ringan tentu menjadi pesaing berat bagi LPD. Sementara LPD tidak bisa menjual suku bunga lebih rendah karena akan berefek pada kerugian lembaga.

Dalam upaya menjaga eksitensi LPD, Karma Yasa mengharapkan LPD harus bisa berinovasi.  Tidak hanya menggelontorkan kredit bulanan atau musiman, namun mampu membuat program kredit dengan melihat potensi yang ada di masyarakat. Inovasi ini pun diharapkan disinergikan dengan kecanggihan teknologi. “LPD bisa mendatangkan programmer untuk membuat program penyaluran kredit,”ungkapnya.

Sementara itu, pemerhati LPD AA Rai Astika mengatakan, terjadi beberapa kendala di LPD saat ini yang membuat permasalahan dalam kredit. Di antaranya, faktor internal, mulai dari kenakalan oknum hingga belum maksimal dalam pengelolaan kredit. Terlebih dipengaruhi oleh tekanan masyarakat adat yang merasa seutuhnya memiliki LPD dengan mengenyampingkan profesionalisme LPD. Selanjutnya faktor eksternal, yang terkadang adanya etika tidak baik dari debitur dalam pembayaran angsuran serta faktor lainnya seperti bencana alam yang dapat menggoyahkan pengelolaan LPD dalam jangka waktu tertentu.

Untuk itu, menurut Rai Astika, solusi yang paling pertama dilakukan saat ini, adalah membuat pedoman kebijakan kredit yang bersumber dari perda yang mengatur tentang LPD. “Pedoman ini nantinya jadi pararem di masing-masing desa adat yang selanjutnya dapat digunakan sebagai SOP dalam menyaluran kredit di LPD,” ungkapnya.

Prinsip kehati-hatian, lebih lanjut dijelaskannya, hingga tata cara penyelesaian kredit bermasalah akan tertuang dalam pedoman tersebut yang dijadikan SOP bagi LPD. “Dimulai dari aturan ini yang dapat menata penyaluran kredit di LPD, sehingga pergerakan LPD bisa terkendali,” imbuhnya. *wid/editor rahadi