Singaraja (bisnisbali.com) –Salah satu budi daya yang sampai kini tetap memiliki peluang yang cerah adalah pembesaran ikan lele. Seperti diketahui ikan lele merupakan jenis ikan yang banyak dijadikan bahan konsumsi oleh masyarakat.
Di Kabupaten Buleleng, terdapat banyak sekali pembudi daya ikan lele. Hal itu juga menandakan permintaan ikan air tawar terbilang masih cukup tinggi.
Gede Edwin Saputra salah seorang pembudi daya lele dari Desa Bengkel, Kecamatan Busungbiu, Buleleng beberapa waktu lalu mengungkapkan, sejak ditekuni Maret 2017 lalu, budi daya lele memiliki peluang yang menjanjikan. Kendati demikian, budi daya ikan air tawar ini terbilang gampang-gampang susah.
Menurutnya, yang paling penting diperhatikan dalam budi daya lele adalah bagaimana cara memperlakukan ikan saat perubahan cuaca, mengetahui kualitas air dan porsi makan menyesuaikan berat biomasa ikan.
Konsisten dengan jadwal pemberian pakan pada ikan adalah salah satu kunci untuk mengurangi tingkat risiko kanibaliseme. Lele harus diberi makan 3 kali sehari, kloter pertama dan kedua 30 persen atau 1,5 kg untuk 100 kg ikan dan untuk kloter tiga 40 persen atau 2 kg untuk 100 kg ikan. “Pakan dihitung dari berat biomasa ikan. Misal berat ikan 1 kg isi 10 ekor jadi 1.000 ekor ikan biomasanya 100 kg, untuk jumlah pakan yang diberikan adalah 5 persen dari jumlah pakan. Berat biomasa 100 kg x 5 persen, 5 kg kebutuhan pakan dalam 1 kolam di bagi 3x dengan jadwal pakan yang diberikan,” jelasnya.
Selain itu, penting halnya mengetahui keadaan ikan setiap hari, termasuk kualitas Ph air. Untuk membuat ikan kebal dengan penyakit dan mendorong nafsu makan ikan lebih tinggi adalah dengan memperhatikan kualitas Ph air. Minimal air harus dikuras 15 cm dari permukaan sebelum diberi pakan kemudian ditambah air yang sebelumnya sudah diendapkan dalam tandon. “Kolam yang baik untuk kolam lele adalah kolam beton bawah dengan pembuangan kotoran ada di tengah-tengah dan kemiringan ke tengah. Jadi ini maksudnya agar mudah membuang kotoran ikan yang akan menjadi gas amoniak yang menyebabkan ikan keracunan dan cepat terserang penyakit aeromonas atau mati masal,” imbuhnya.
Sejauh ini tidak ada kendala yang menonjol dari beternak lele ini. Hanya saat tebar benih ia harus memperhatikan kondisi cuaca, karena apabila cuaca ekstrem otomatis suhu air berubah menjadi lebih dingin sehingga tidak disarankan untuk melakukan aktivitas tebar benih.
Keuntungan yang didapat cukup menjanjikan. Memasuki panen ketiga ia mampu memanen ikan lele 1,6 ton lele dari 20.000 ekor ikan dalam 4 kolam yang ia miliki. Dengan harga jual di tingkat pengepul dibanderol Rp17.000 per kilogram sementara harga ecer mulai Rp23.000 per kilogramnya. “Kita targetkan 2,3 ton untuk panen kita yang terakhir diperkirakan dua minggu lagi,” tutupnya.
Menurutnya, masih sedikitnya minat masyarakat untuk membudidayakan lele di Buleleng dikarenakan teknik pengembangbiakan yang yang masih belum banyak dipahami para peternak lele. Pada awal budi daya, Edwin mengaku pernah dua kali merugi hingga Rp40 juta dalam kurun waktu satu tahun karena minimnya pengetahuan dalam teknik budi daya lele. *ira