Kini kemajuan teknologi memberi kemudahan bagi masyarakat untuk bisa mengakses kebutuhan dana. Salah satunya melalui teknologi finansial (financial technology atau fintech) yang jumlahnya mencapai ratusan sekarang ini. Di sisi lain, dengan kemudahan akses tersebut, ada biaya mahal yang akan mengancam debitur bila salah memilih fintech. Apa sebabnya?
LAYANAN fintech atau disebut juga pinjaman online (pinjol) hadir seakan menjadi jawaban bagi masyarakat yang sulit mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan. Sayangnya, masih banyak masyarakat yang justru terjebak dalam “lingkaran setan”. Betapa tidak, banyak dari pinjol yang dianggap menerapkan kegiatan bisnis yang merugikan dan menjebak nasabah. Misalnya, jumlah pinjaman yang sangat kecil dengan persyaratan yang sangat mudah, kemudian dibalut dengan bunga yang sangat tinggi.
Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi (SWI) OJK, Tongam L. Tobing mengungkapkan, saat ini berdasarkan data yang dimiliki SWI perusahaan pinjol yang terdaftar (legal) di OJK hanya 127, sedangkan yang tidak terdaftar (ilegal) mencapai 1.477. Imbuhnya, jumlah penyedia layanan pinjol yang cukup banyak tersebut karena didukung oleh pembuatan aplikasi sangat mudah dan permintaan yang sangat besar dari masyarakat selama ini.
Jelas Tongam, saat ini ada banyak masyarakat yang memanfaatkan kemudahan meminjam uang di pinjol. Sebab katanya, masyarakat tinggal menggunakan handphone dan masuk ke salah satu aplikasi yang menawarkan pinjol, maka langsung berhasil dan mendapatkan pinjaman.
“Proses untuk mendapatkan pinjaman online sangat mudah. Namun di balik kemudahan tersebut akan selalu ada biaya yang dibayar, terlebih lagi jika pinjol yang dipilih tersebut ternyata ilegal, maka akan ada biaya yang sangat mahal akan mengancam debitur,” tuturnya.
Terangnya, pinjol ilegal akan sangat mudah memberikan pinjaman tetapi syaratnya sangat berat. Bunganya tinggi, dendanya tinggi. Contohnya, kalau meminjam uang Rp 1 juta yang akan ditransfer ke debitur hanya Rp 600 ribu. Artinya, 40 persen dari pinjaman tersebut langsung dipotong. Selain itu, dari pinjaman tersebut bisa jadi bunga yang dibandrol mencapai 4 persen per hari, dan itu belum termasuk denda yang tidak terbatas.
Sambungnya, biaya yang mahal dari pinjol ilegal tersebut tidak berhenti di situ saja. Sebab, pinjol ilegal ini akan menggunakan data pribadi debitur untuk melakukan teror pada saat peminjam tidak mampu membayar. Teror tersebut di antaranya mulai dari menyebarkan foto pribadi dan data-data yang bersifat buruk ke nomor kontak orang lain, hingga pelecehan, dan perbuatan yang tidak menyenangkan lainnya.
“Teror tersebut dimungkinkan karena penyedia pinjol ini sebelumnya meminta kepada yang akan melakukan pinjaman uang agar seluruh kontak ataupun data-data lainnya bisa diberikan. Tujuanya, data tersebut mereka gunakan untuk sasaran teror pada saat peminjam tidak mampu membayar,” ujarnya.
Bercermin dari itu, pihaknya mengimbau masyarakat untuk mewaspadai investasi dan pinjol ilegal. Upaya waspada yang bisa dilakukan di antaranya, masyarakat mengecek daftar investasi dan pinjol yang terdaftar di laman resmi OJK. Selain itu, dua hal yang mesti diingat masyarakat ketika akan melakukan pinjaman melalui fintech yaitu 2 L (legal dan logis).
Selain itu sambungnya, masyarakat sebelum berinvestasi maupun memanfaatkan pinjol, sebaiknya mengenali lembaga dan produknya. Seperti, memahami proses bisnis yang ditawarkan, memahami manfaat dan risikonya, serta memahami hak dan kewajibannya.
“OJK terus mendorong masyarakat untuk makin memahami manfaat penggunaan pinjol sekaligus risiko-risikonya bagi peminjam dan pemberi pinjaman,” tandasnya.
Tambahnya, OJK juga mengarahkan agar keberadaan pinjol bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendanaan bagi masyarakat bawah, khususnya usaha mikro, kecil, dan menengah dengan lebih cepat dan mudah. Pihaknya, juga mendorong masyarakat untuk melapor kepada aparat kepolisian apabila mendapatkan perlakuan tidak sopan dari penyelenggara pinjol, seperti intimidasi dan pelecehan dari penyedia jasa pinjaman daring. *man/editor rahadi