Pariwisata Bali menghadapi dilema. Bagaimana tidak, adanya revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) yang dibuat DPR telah menyebar luas dan membuat wisatawan asing merasa khawatir untuk berkunjung ke Indonesia dan khususnya Bali. Alhasil, sejumlah wisatawan asing yang hendak berlibur ke Bali membatalkan niatnya, meski pembatalan itu belum masif. Sudah tentu kondisi ini bisa mengancam kelangsungan pariwisata Bali. Lalu, apa reaksi pemerintah daerah dan para pelaku industri pariwisata di Bali dalam menyikapi hal ini?
SEBAGAIMANA kita ketahui, DPR telah merancang revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), meski belakangan akhirnya Presiden dan DPR sepakat untuk menunda pengesahannya. Ketua Badan Promosi Pariwisata Daerah (BPPD) Bali Tjokorda Oka Artha Ardana Sukawati (Cok. Ace) yang juga sebagai Wakil Gubernur Bali sangat mendukung keputusan tersebut. Cok Ace mengajak insan pariwisata Bali tidak sekadar mendukung penundaan tersebut, tetapi sekaligus akan mengajukan penolakan secara tertulis terhadap sejumlah pasal yang dinilai mengganggu kepariwisataan Bali.
“Kami dari insan pariwisata sangat konsen menjaga pariwisata Bali. Untuk itu akan mengajukan usulan revisi tertulis kepada DPR atas beberapa pasal yang dinilai dapat berdampak negatif kepada pariwisata Bali khususnya,” ujar Cok Ace.
Sejumlah pasal yang akan diusulkan untuk ditinjau kembali, di antaranya bab pasal bagian perzinaan, yakni pasal 417 dan 419. Pasal ini dalam implementasinya akan sangat menyentuh ranah privasi. Ini tentu mengkhawatirkan wisatawan asing karena KUHP Indonesia menganut asas teritorial seperti yang termaktub dalam pasal 2 KUHP yang berlaku saat ini.
Selain itu juga pasal 432 yang kurang lebih berbunyi, “…… wanita pekerja yang pulang malam bisa dianggap sebagai gelandangan….dan seterusnya”. Kata Cok Ace, dalam dunia industri pariwisata tidak tertutup kemungkinan pekerja wanita pulang malam karena tuntutan pekerjaan dan pelayanan dalam dunia pariwisata. “Tentu saja ini sangat mengganggu bisnis pariwisata karena akan terbatas pada jam malam,” tegasnya.
Menyikapi kondisi ini akhirnya Pemprov Bali mengeluarkan pernyataan, yang menyatakan KUHP tersebut masih sebatas rancangan sehingga belum bisa diberlakukan. Untuk itu, pelaku pariwisata dan wisatawan diharapkan tetap tenang dan menjalankan aktivitas kepariwisataan sebagaimana biasanya. “Pernyataan ini dibuat untuk menghindari terjadinya kesimpangsiuran yang berpotensi mengganggu kelangsungan pariwisata di Bali,” tegas Cok. Ace.
Ketua PHRI Kabupaten Badung I Gusti Agung Ngurah Suryawijaya, S.E., MBA. mengatakan, informasi tentang RKUHP ini sudah telanjur menyebar di kalangan wisatawan asing. Seperti pemberitaan oleh media Australia yang berjudul “Bali Sex Ban” sudah menimbulkan respons negatif dan membuat wisatawan asing terutama yang couple merasa takut untuk berkunjung ke Indonesia, khususnya Bali. “Ini perlu diwaspadai karena bisa dimanfaatkan oleh pesaing untuk menggaet wisatawan seperti Thailand, Malaysia, Singapura dan Vietnam. Itu sudah terjadi. Selain itu, adanya RKUHP ini juga bertentangan dengan keinginan pemerintah menjadikan sektor pariwisata sebagai penghasil devisa nomor satu mengungguli migas. Maka kami sepakat menolak pengesahan RKUHP ini,” ungkap Ketua BPPD Badung tersebut.
Hal yang sama disampaikan Wakil Ketum DPP Indonesia Hotel General Manager Association (IHGMA) I Made Ramia Adnyana. Menurutnya, saat ini negara Australia telah mengeluarkan travel advisory bagi warganya yang berkunjung ke Indonesia, termasuk Bali. Tak menutup kemungkinan negara lain akan mengikutinya. “Ini (RKUHP) belum disahkan saja sudah menjadi berita besar di Australia, sehingga berdampak terjadi cancellation oleh wisatawan Australia, Prancis, Amerika dan India. Ada yang couple, grup, bahkan rencana menggelar wedding di Bali dibatalkan. Ini sangat mengkhawatirkan. Kami bersama pelaku, praktisi dan stakeholders pariwisata berharap dilakukan revisi bahkan menghapus pasal yang meresahkan tersebut. Kami juga gencar menyampaikan informasi kepada wisatawan yang akan ke Bali bahwa aturan ini belum berlaku agar mereka tidak merasa takut,” sebut Wakil Ketua PHRI Badung Bidang Kominfo tersebut.
Pengamat pariwisata Bali I Wayan Puspa Negara menambahkan, RKUHP ini telah menyiksa pariwisata Bali. Beberapa pasal terlalu menyentuh ruang private dan hakiki yang seharusnya lebih pantas diatur oleh norma sosial dan agama/adat. Akibatnya, saat ini sudah ada pembatalan kunjungan wisatawan asing ke Bali dan bisa berlanjut ke depan. “Kondisi ini menunjukkan adanya reaksi yang keras dari wisatawan asing karena aturan itu mungkin dipandang nyeleneh dan mamasuki ruang private. Tentu hal ini merupakan kerugian besar bagi pertumbuhan pariwisata Bali. Saya mendukung dilakukan revisi dan penundaan pengesahan terhadap RKUHP ini,” tegas mantan anggota legislatif ini. (dar)