Seiring terbukanya peluang pasar ekspor terhadap produk pertanian lokal khususnya buah, Bali perlu menyiapkan diri. Tidak hanya dari sisi volume yang harus ditambah, komoditi baru yang memiliki pasar internasional perlu disiapkan. Seperti apa?
PASAR ekspor buah lokal Bali kian menggeliat, terutama pada buah nonsubtropis, seperti manggis, mangga, buah naga dan salak. Ini tentunya jadi peluang petani untuk meningkatkan produksi terlebih dengan harga yang menjanjikan.
Dinas Pedagangan dan Perindustrian Provinsi Bali mencatat, tahun 2018 ekspor buah lokal asal Bali tercatat 13.000 ton lebih dengan nilai 12 juta dolar AS. Hingga Juni 2019 telah tercatat ekspor mencapai 5.000 ton dengan 6,8 juta dolar AS. Adapun negara yang menjadi tujuan ekspor yaitu Cina khususnya manggis dan buah naga. Salak dan mangga diekspor ke Rusia.
Kepala Seksi Fasilitas Ekspor Impor Bidang Pengembangan Perdagangan Luar Negeri, Dinas Perdagangan dan Perindustrian Provinsi Bali IGN Satriya Wibawa mengatakan, di Bali saat ini sudah ada 6 perusahaan yang melakukan ekspor buah. Termasuk saat ini ada 6 pengajuan yang masuk untuk menjadi eksprotir produk pertanian yang masih dalam proses. Bali mengawali ekspor buah ke luar negeri secara resmi pada 2018. Saat itu baru ada satu eksportir dari Bali yang mengirim buah ke luar negeri. Dari luar Bali pun belum ada. Adanya penambahan eksportir ini menggambarkan pasar produk pertanian menggeliat. “Artinya permintaan makin lama makin banyak. Ke depan diharapkan terus meningkat permintaan buah-buahan dari Bali,” ujarnya.
Hal senada juga diungkapkan oleh Kepala Bidang Produksi Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Provinsi Bali I Wayan Sunartha. Terlebih ketika ekspor manggis dilakukan langsung ke langsung ke negara tujuan yaitu Cina tidak melalui Thailand lagi. Tidak hanya dari kuantitas, ekspor secara langsung ke negara tujuan ini juga membuat nilai jual petani meningkat. Petani mendapatkan harga bagus untuk produk yang dihasilkan. “Sekarang harga di tingkat petani untuk manggis sudah mencapai Rp25.000 per kilogram. Sebelumnya Rp10.000 per kilogram,” ungkapnya.
Seiring dengan tingginya peluang ekspor bagi buah lokal ini ditambah petani mendapatkan harga bagus untuk produknya, produksi petani kata Sunarta juga otomatis meningkat. Petani akan mulai menata dan merawat kebunnya sehingga dari sisi kualitas dan kuantitas produk unggul. “Kalau dulu dari jumlah produksi, khususnya manggis, hanya 30 persen yang bisa diekspor. Saat ini petani sudah mulai menata kebunnya, sehingga dari segi volume produk kan bisa ditingkatkan. Kami harapkan semua produsen (petani) produknya bisa masuk ekspor,” ungkapnya.
Dilihat dari segi wilayah di Bali, banyak lahan yang bisa ditanami manggis. Manggis berkembang bagus di ketinggian 300 hingga 600 m di atas permukaan laut. Untuk buah naga sentra di Buleleng dan salak di Karangasem.
Di samping volume yang terus ditingkatkan, kata Sunarta, Bali juga akan menyiapkan komoditi baru yang menjadi permintaan ekspor. Salah satunya pisang khusus jenis Maskirana. Jenis pisang ini akan ditujukan kepada negara Jepang. Namun jenis pisang ini yang diutamakan adalah keunggulan dari segi rasa manis serta kelembutan teksturnya. Untuk itu, lahan yang dibutuhkan harus sesuai yaitu pada ketinggian 600 meter di atas permukaan laut. Lahan ini yang menjadi kendala saat ini, yang pihaknya masih mencari lahan yang cocok. “Karena dengan ketinggian tersebut (600 meter) sudah cocok ditanam sayur, dan itu masih sulit untuk dipadukan,” ujarnya.
Pihaknya saat ini lebih mengedepankan peningkatan volume produk yang telah menjadi komoditi ekspor selama ini. Jenis buah yang diekspor disesuaikan dengan kebutuhan di negara tujuan. *wid