Denpasar (bisnisbali.com) –Perbankan perlu menjaga ritme operasional agar mampu menjaga suku bunga normal. Upaya ini sebagai bentuk kesiapan perbankan dalam menghadapi turunnya permintaan kredit.
“Ada kecenderungan saat ini permintaan kredit menurun namun penyimpanan dana yang tumbuh. Itu karena kondisi ekonomi membuat masyarakat tidak mau berutang namun lebih menyimpan,” kata pemerhati ekonomi, Nyoman Trisnawati, M.M. di Sanur, Minggu (15/9) kemarin.
Ia mengatakan, ada beberapa pendapat berbeda di lapangan terkait kondisi ekonomi saat ini dengan perilaku masyarakat terhadap kegiatan perbankan. Satu sisi tidak akan berpengaruh pada daya beli masyarakat dan berimbas pada industri perbankan. Kendati demikian, kalangan perbankan banyak yang menyebutkan bila pertumbuhan dana pihak ketiga sangat besar namun tidak dibarengi dengan penyaluran kredit yang tumbuh. Pelaku usaha cenderung wait and see tidak mau meminjam takut tidak bisa membayar, begitu pula bank tidak berani menyalurkan biaya tinggi karena rawan risiko kredit bermasalah.
Perbankan berusaha menjaga suku bunga tetap normal seiring berlakunya suku bunga acuan Bank Indonesia (BI).
“Semua kembali lagi ke pasar, termasuk upaya-upaya perbankan menghadapi kondisi ini,” terangnya.
Ia kini berharap bagaimana peran OJK maupun BI menjaga agar suku bunga yang berlaku di bank-bank tidak tinggi atau terjadi “perang” bunga dan memberatkan konsumen. Sebagai persiapan menghadapi persaingan, harusnya pelaku UKM diberi kondisi suku bunga rendah. Harapannya, suku bunga turun, ongkos produksi lebih rendah sehingga UKM bisa meningkatkan produksinya
Intinya perbankan nasional akan bisa memenangkan persaingan, jika bisa mampu menjaga ritme operasionalisasi banknya pada posisi sehat.
Sebelumnya pengamat perbankan dari Undiknas University, Prof. Dr. IB Raka Suardana menyatakan, kunci tentu berada di pemerintah dan otoritas terkait untuk menjaga kondisi bisnis di masyarakat dan perbankan berjalan seirama, tidak saling merugikan. Utamanya terkait makin dekat masuknya era MEA perbankan pada 2020.
Ia menilai, MEA 2020 dipastikan terjadi persaingan yang sangat ketat di sektor perbankan. Bila usaha perbankan bisa dikelola dengan baik oleh pengelola (manajemen) serta mampu menjaga prinsip-prinsip perbankan secara umum, misalnya prudent principle (prinsip kehati-hatian), maka perbankan nasional tidak perlu khawatir.
“Bank harus dikelola secara baik dan sehat. Kepercayaan masyarakat harus tetap dijaga. Jangan menodai kepercayaan itu oleh tindakan-tindakan yang berisiko. Sekali saja masyarakat kecewa, dan bila terembus di masyarakat lain, pasti akan berdampak tidak baik bagi bank itu sendiri, maupun bank lain,” katanya.
Kini yang menjadi kekhawatiran menjelang MEA bank 2020, imbuh Prof. Raka, adalah masih adanya bunga bank di Indonesia berlaku cukup tinggi dibandingkan bank-bank asing. Bila ingin memenangkan persaingan, sebaiknya suku bunga perbankan nasional haruslah kompetitif. Industri perbankan, katanya, bisa memberlakukan suku bunga yang sesuai asalkan perbankan efisien.
“Kini bagaimana peran OJK mauun BI menjaga agar suku bunga yang berlaku di bank-bank tidak tinggi,” ucapnya. *dik